Sejarah

Mengenang Kekejaman Pemberontakan PKI Madiun di Akhir September 1948


Kiai Zakaria, salah seorang saksi yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang saat kejadian masih jadi santri (13 tahun) di pesantren Sabilil Muttaqin, bercerita,

“Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin, Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI. Mobilnya hitam. Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri, Suhud membaca, ‘innallaha laa yughoyyiruma bi koumin hatta laa yughoyyiruma bin anfusihim’. Jadi dia itu mau melakukan perubahan di Indonesia. Lalu Kiai Imam Mursyid diculik olehnya. Kata Suhud, pak Kiai mau diajak berunding. Pak Kiai dibawa ke sana (sambil menunjuk arah Gorang Gareng). Tapi sampai sekarang tidak ada datanya dimana beliau disedani (dibunuh).”[8]

Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren. Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang sangat dipatuhi itu.

Berita Terkait

Image

Omah Ropingen: Dari Simpul Perang Diponegoro Hingga Pendirian PKI