Kisah Penulis Justus van Maurik Menyaksikan Eksekusi Hukuman Gantung di Batavia
Oleh: Teguh Setiawan, Mantan Jurnalis Republika
Hari itu, Sabtu 1 Agustus 1896, Justus van Maurik -- novelis dan pembuat cerutu asal Amsterdam -- dibangunkan suara terompet dan derap langkah pasukan. Itu hari ketiganya berada di Batavia dan menginap di sebuah hotel tak jauh dari Harmoniplein.
Ia mengatasi keenggannya bangkit dari tempat tidur dengan sejenak duduk, lalu berjalan ke kamar mandi. Usai membersihkan diri seperlunya ia keluar untuk mencari informasi tentang apa yang terjadi di luar hotel.
"Hari ini akan ada eksekusi hukuman gantung seorang terpidana," kata pegawai hotel kulit putih. "Pasukan polisi itu akan mengamankan eksekusi."
Ia enggan menyaksikan peristiwa itu, tapi naluri penulisnya menuntut dia harus tahu. Dia harus melihat langsung proses eksekusi.
Usai menghabisi kopi di cangkir, dia berjalan cepat ke luar hotel dan melompat ke atas trem. Trem menderu keras dari Rijswijk, kini Jl H Juanda, melintasi Harmoniplein dan menuju Stadhuisplein -- kini Museum Fatahilah.
Hanya perlu 15 menit untuk sampai ke lokasi eksekusi hukuman gantung di depan Stadhuisplein. Trem dipenuhi penumpang dari semua etnis, yang masing-masing berbincang tentang hukuman gantung. Rupanya, mereka ingin menyaksikan peristiwa itu.
Sebuah perancah telah dipasang di alun-alun Stadhuis. Kerumunan orang ditahan sejumlah polisi untuk tidak bergerak mendekat. Pedagang asongan berkeliling, penjual es, buah-buahan, dan makanan lain, sibuk melayani pembeli.
Algojo dan asistennya telah menunggu terpidana. Perwakilan pemerintah berdiri di belakang perancah. Tak lama kemudian, sekitar pukul 07:00 pagi, terpidana dibawa ke dekat tiang gantungan.