Terus Tetap Optimistislah: Matikah Partycracy dan Mitologi?
PolitikDua puluh satu tahun lalu, saya begitu sumringah dan bersemangat menyambut kehadiran undang-undang tentang partai politik, sekalipun mencoba ‘me-nakut-nakut-i’ dengan istilah partycracy. Dewasa ini, partycracy terlihat begitu tua, ringkih, mudah dipatahkan. Bahkan, kerelawanan yang bersifat sementara, bukan satu organisasi yang bertingkat, berjenjang, berideologi, hadir bak alien yang membunuh inangnya sendiri: partai-partai politik.
Organisasi relawan dipermanenkan. Pimpinan partai-partai politik duduk sejajar dengan pimpinan relawan yang rela bertarung bak Kurawa versus Pandawa dalam wujud Dasamuka.
Apapun itu, saya tetap berpandangan optimis. Bahwa kalangan relawan dalam pilpres, nanti berbondong masuk partai politik, ketimbang ‘berjuang’ menjadi staf khusus menteri atau komisaris badan usaha milik negara. Bahwa anggota-anggota parlemen nasional yang hebat-hebat, tak banting setir lagi menjadi menteri atau kepala daerah.
Bahwa Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara dipilih oleh DPR RI lewat minimal usulan tiga nama dari Presixen RI. Bahwa Gubernur Daerah Khusus Jakarta dipilih secara langsung, beserta wakilnya. Pun, bahwa, di Daerah Khusus Jakarta, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung dalam pemilu susulan, bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif tingkat Kota dan Kabupaten.
Dari partycracy menuju demokrasi berbasis keanggotaan partai (party id) itu memang lama. Maka, tak mudah juga bagi saya untuk langsung membuat perbandingan politik antara Indonesia dengan Amerika Serikat atau Perancis, misalnya. Nanti saja, setelah fase patrycracy bisa dilewati dengan subtantif dan damai-damai saja.
Jakarta, 21 Desember 2023