Islam di Kerajaan Mataram Jawa: Dari Azan Hingga Sultan yang Berkhotbah Jumat
Pada tahun 1980-an, ada sebuah kisah yang diceritakan seorang tokoh agama mengenai suara masjid di kawasan kerajaan Mataram Jogjakarta. Dia adalah sosok berasal dari Belanda. Namun sebagai orang yang mumpuni dia mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman. Hebatnya, pengamatan yang genius ini dilakukan tanpa harus melalui survei seperti sekarang ini, tapi melalui penghayatannya atas gerak zaman.
Menurutnya, pada masa pra kemerdekaan, situasi udara kerajaan kawasan Mataram Islam Jogyakarta, suara adzan hampir-hampir tak terdengar. Kalau pun terdengar hanya sayup-sayup. Tak ada suara adzan yang keras. Bahkan masjid yang didirikan oleh pemerintah (saat itu pemerintah kolonial Belanda) tak terlihat sama sekali. Dengan kata lain kekuatan Islam politik minimalis atau bahkan bisa dikatakan lemah.
Dan tentu ini berbanding terbalik, saat Islam menjadi kekuatan politik di masa kerajaan Mataram Jogjakarta masih eksis sempurna hingga masa Perang Diponegoro. Masjid begitu eksis bahkan dijadikan ‘fundamen wilayah kerajaan’ dengan adanya sebutan ‘Masjid Pathok Nagari yang jumlahnya lima itu dan dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I (seiring berdirinya kerajaan Mataram Islam Jogjakarta). Masjid ini adalah masjid di Ploso Kuning, masjid di Mlangi, masjid di Babadan, masjid di Dongkelan, dan masjid di Wonokromo.