Islam di Kerajaan Mataram Jawa: Dari Azan Hingga Sultan yang Berkhotbah Jumat

Agama  

Adanya masjid kerajaan dengan arsitektur khasnya ini jelas mengumandangkan adzan secara keras. Bahkan, ada aturan bahwa masjid itu ketika adzan harus sambung menyambung. Masjid Gedhe di Kauman adalah masjid pertama yang mengumandangkan adzan lalu diikuti secara estafet oleh masjid lainnya.

Jadi keberadaan masjid dengan adzannya bukan hal yang main-main pada pemerintahan kerajaan Mataram Jogjakarta (dan mataram Surakarta) saat itu. Raja Pakubowono IV bahkan kerap menjadi khotib di masjid kraton. Posisi masjid beserta adzannya mulai meredup seiring dengan eksisnya kekuasaan kolonial usai Perang Diponegoro (1825-1830). Pemerintah kolonial Belanda memisahkan kraton dan kaum santri yang dianggapnya sebagai ancaman.

Dan setelah itu pendirian masjid makin sulit, bahkan satu persatu mulai muncul pendirian gereja yang di awali dari daerah Sekitar Jombang Jawa Timur.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penyebaran misi Kristen yang tidak pernah dilakukan secara resmi semasa era VOC karena untuk mempertahankan situasi kondusif masyarakat Jawa —sesudah Kerajaan Mataram resmi di bawah pemerintah Belanda ini — maka sejak itu usainya perang Jawa di tahun 1830 dan seiring eksisnya tanam Paksa secara resmi gerakan misi didukung sepenuhnya oleh pemerintah kolonial.

Jadi jelas sekarang, sebelum masa eksisnya pemerinyahan kolonial (atau ketika VOC berkuasa) Kesultanan Mataram sebagai penguasa hanya mendirikan masjid. Ini beda dengan pemerintah Belanda ketika berkuasa terlibat dalam misi menyebarkan agama.

Bahkan dalam disertasi Dr Aqib Suminto pada buku 'Politik Islam Hindia Belanda' yang merupakan disertasinya di Universitas Leiden pada awal 1980-an, pemerintah kolonial lebik banyak memberikan bantuan pengelolaan gereja dari pada masjid meski jumlah bangunan dan umat penganutnya jauh lebih sedikit.

Ini mengapa? Karena umat Islam melakukan politik 'uzlah' (memisahkan diri) dengan menjadi opoisis pemerintahan kolonial Belanda. Kala itu, sebelum merdeka, umat Islam dan masjid menjadi basis perlawanan kepada eksistensi pemerintahan kolonial.

Tak hanya itu, Aqib Sumintao dalam dalam disertasinya juga menyebutkan pula bila bantuan pemerintah Belanda kepada gereja berkali kali lipat bantuannya bila dibandingkan kepada masjid. Dia contohkan berupa perbandingan atas bantuan kepada pengelola masjid yang sangat kecil. Masjid tumbuh dan eksis dengan dibiayai sendiri oleh masyarakat.

Sensus tahun 1930 pun menyebutkan bila ada 3 orang pribumi Kristiani ber, maka 2 orang di antarannya mendapat bantuan dari pemerinyah. Sehaliknya bila 3 orang pribumi berkumpul, maka hanya 1 orang yang mendapat bantuan atau keuntungan dari pemerintah Belanda.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image