Jejak Sutardji C Bachri: Dari Mantra, Sufi Hingga Pentas Puisi di Medelin Columbia
SastraBATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh
dengan seribu perawan
hati tak jatuh
dengan seribu sibuk sepi tak mati
dengan seribu beringin ingin tak teduh.
Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai.
Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati j
anji ?
JEMBATAN
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa.Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai palaza.
Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara.
\