Pelajaran Akhlak dari Bocah Bukhara Ketika Iktikaf di Atap Masjid Nabawi

Agama  

Dari saku celananya, ia mengambil segenggam kacang, yang kemudian disusunnya dengan rapi di hadapannya, siap disantapnya jika saat azan maghrib berkumandang sebentar lagi. Kacang itu hasil swadaya, bukan pemberian orang lain; ia membawa sendiri untuk bekal awal berbuka.

Ketika azan bergema, dengan penuh semangat ia menyantap semua makanan yang didapat, sambil sedikit-sedikit ia sertai dengan kacang simpanannya. Rupanya kacang-kacang aneka jenis itu makanan kesukaannya, terlihat dari kecermatannya dalam menaruh maupun memakannya.

Bagi saya ini bukan pemandangan biasa, dan mungkin karena inilah perhatian saya, tanpa sepenuhnya menyadarinya, tertuju pada gerak-gerik bocah itu hingga waktu berbuka. Rupanya bocah itu sadar kalau saya sedang memperhatikannya. Di titik inilah terjadi hal yang mengejutkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kacang kesayangannya itu tiba-tiba ia pilah menjadi dua bagian. Yang pertama ia makan, dan yang kedua ia sodorkan kepada saya. Pastilah ia mengira saya kepingin mencicipi kacang favoritnya itu, karena ia merasakan saya memandanginya terus.

Saya terkejut dengan sikapnya itu. Tiba-tiba hati saya disergap perasaan haru. Dari semua yang terlihat di permukaan, kehidupan bocah ini tampak susah dan penuh keterbatasan. Tetapi, dengan segala kekurangan itu, ia bersikap ikhlas dan bersemangat untuk memberi saya makanan sederhana yang ia miliki dengan alakadarnya.

Hati saya terus dicekam rasa haru sekaligus malu. Saya merasa, orang-orang yang dilimpahi berkah berlebih pun — mungkin termasuk diri saya sendiri — terkadang masih enggan untuk berbagi. Sikap orang-orang itu, kami, seakan lebih miskin dari bocah bersahaja di samping saya ini.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image