Jawa dan Imajinasi Kekuasaan Jawa Masa kini

Budaya  

Untunglah di tengah kegaluan ingatan ini tiba-tiba melayang pada buku tipis berwarna coklat yang bertajuk ‘Etika Jawa’ dari pakar filsafat Romo Frans Magnis Suseno. Buku terbitan Gramedia ini terbit sudah lama semenjak tahun 1980-an. Tapi ide tetap terasa segar sampai sekarang.

Dalam buku itu memang ada jawaban atas pertanyaan tentang selera orang Jawa tersebut. Menurut Frans Magnis, orang Jawa memang lebih menyukai epos Mahabarata dari pada Ramayana karena Mahabarata itu tidak bersifat hitam putih. Sedangkan Ramayana tokohnya dipersepsikan dengan hitam putih. Rama sosok suci tanpa cela dan Rahmawa total dipersetankan.

‘’Beda dengan Ramayana, dalam Mahabarta semua tokoh tak ada yang suci. Semua punya aib dan cela. Kurawa tak kelam semuanya dan Pandawa tak suci semuanya. Ini beda dengan Ramayana, di mana sosok Ramawijaya selalu suci dan benar, Rahwawana selalu jahat, tertuduh, tukang curi isteri orang, dan beringas,’’ begitu rangkuman pendek penggalan buku ‘Etika Jawa’ yang masih bisa diingat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Contoh ini kemudian muncul pada lakon teater terbaru bertajuk ‘Sengkuni’ karya Emha Ainun Nadjib yang dipentaskan beberapa waktu lalu. Emha dalam lakon teater itu malah mengguat bahwa pakar adu domba yang terlanjur ditokohkan pada tokoh imajiner bernama Sengkuni sebenarnya tak sepenuhnya jahat. Bahkan, sebenarnya Sengkuni berhak menjadi lebih jahat dari semua orang sebab dia pada masa mudanya sangat menderita dan nista hidupnya. Ini karena Sengkuni sejak lahir bukan anak orang jelata. Dia bahkan sebenarnya seorang calon raja, yakni putera mahkota. Namun, pada sautu waktu kerajaannya hancur lebar diinvasi oleh kerajaan Astinapira. Tak hanya diserbu, seluruh keluarganya pun dibantai tanpa ampun.

Dan cara membantainya pun sangat sadis. Semua keluarga Sengkuni termasuk ibu dan bapaknya dijebloskan ke dalam bui. Selama dipenjara mereka hanya diberi makan dengan jatah hanya sebutir nasi. Akibatnya, demi mempertahankan kelangsungan wangsanya, maka Sengkuni yang diputuskan oleh keluarganya harus tetap hidup, maka ayah, ibu, dan seluruh keluarganya merelakan dirinya di bunuh untuk di makan dagingnya sekerat demi sekerat oleh Sengkuni agar tetap bernyawa.

‘’Jadi bayangkan itu seorang Sengkuni harus memakan ayah ibu dan keluarganya yang jumlahnya 100 orang itu agar tetap hidup. Sengkuni jelas tersiksa sekali. Kalau tidak kuat dia bisa gila atau menjadi teroris yang paling ganas. Tapi ternyata kelakuannya masih terkontrol. Dia tetap tak terlalu jahat. Dia hanya menjadi tokoh pengadu domba saja demi mempertahankan diri dan adiknya perempuannya yang kala itu tidak ikut masuk penjara, namun dijadikan permaisuri Raja Astina Pura, Duryudana. Jadi Sengkuni ternyata masih punya kemuliaan,’’ kata Emha dalam tayangan video yang tersebar masif ke publik melalui Youtube.

Memang di sini lain, budaya kekuasaan Jawa mirip kisah Mahabarata. Bahkan sosok ideal satria di kisah Mahabarata sering dijadian acuan. Contoh sederhananya adalah sosok ideal dari seorang satria, di mana ketika muda mungkin masih ‘berangasan’, tapi ketika tua begitu tenang (saleh) perilakunya. Sosok nyata ini ada pada kisah diri perampok yang merupakan anak bangsawan Tuban bernama Lokajaya atau Raden Sahid. Namun setelah tua dan bertemu dengan Sunan Bonang, dia berubah sosoknya menjadi ‘orang paripurna’. Sosok itu kemudian berganti nama dan menjelma menjadi Sunan Kalijaga. Saking hebatnya, meski melintasi zaman yang panjang, dalam Badan Tanah Jawa dia diidentikan sebagai ‘tetua’ atau sumber ilham acuan nasihat bagi seluruh penguasa kerajaan dalam wangsa Mataram Jawa.

Mendiang Nurcholish Madjid kerap menjadikan contoh kisah tersebut ketika mengisahan model penguasa Jawa. Kala itu dia mengkaitkan sosok pemimpin Orde Baru, Soeharto, yang bergerak dari sosok ‘Islamis minimalis’ (abangan) menjadi sosok Islamis maksimalis’ (putihan’). Cak Nur mengatakan apa yang dijalani Pak Harto itu biasa bagi orang Jawa. Lazimnya ketika tua penguasa Jawa jadi ‘panembahan’ (orang yang perlu disembah/hargai) atau disebut 'eyang' (dahyang/hyang). Apalagi semenjak awal imajinasi kekuasaan Jawa itu sangat tinggi yakni seorang penguasa adalah seligus dewa (dewa raja).

Nah, uniknya kesenangan akan Mahabarata dalam lakon wayang yang populer ditonton pada pertunjukan Ki Seno dan berbagai dalang lainnya, sifatnya cerita gubahan (carangan). Kisah-kisah pokok (pakem) meski masih ada menjadi hal yang tak lazim dan dihindari karena banyak yang percaya bila mementaskan cerita itu hanya akan mengundang bala bencana.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image