Olahraga

The New York Times: Sepak Bola, Kematian dan Polisi yang tak Pernah Salah

Gas air mata ditemakkan pada penanganan kerusuhan usai pertandingan sepakbiola Arema vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan Malang, pada Sabtu (1/10/22). Jumalh meninggal korban mencapai lebih dari seratus orang, ada yang menyebut 125, ada yang menyebut 174, dan ada yang menyebut 182 orang. Presiden telah memerintahkan penyelidikan kasus ini dengan meminta agar di bentun tim independen.
Gas air mata ditemakkan pada penanganan kerusuhan usai pertandingan sepakbiola Arema vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan Malang, pada Sabtu (1/10/22). Jumalh meninggal korban mencapai lebih dari seratus orang, ada yang menyebut 125, ada yang menyebut 174, dan ada yang menyebut 182 orang. Presiden telah memerintahkan penyelidikan kasus ini dengan meminta agar di bentun tim independen.

Selama bertahun-tahun, puluhan ribu warga Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang dinilai banyak kalangan sebagai korup, terbiasa menggunakan kekerasan untuk menekan massa dan seolah tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.

Di ibu kota, Jakarta, polisi menembak dan membunuh 10 orang saat pengunjuk rasa berkampanye menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo pada 2019.

Tahun berikutnya, petugas memukuli ratusan orang di 15 provinsi dengan tongkat saat mereka memprotes undang-undang baru, UU Cipta Kerja. Di Ternate, April lalu, petugas menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran mahasiswa yang damai, membuat tiga balita yang terpapar langsung sakit.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dunia melihat sekilas taktik itu pada Sabtu (1/10) lalu, ketika petugas anti huru hara di kota Malang memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai dan, tanpa peringatan, menyemprotkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di tribun penonton. Metode kepolisian memicu penyerbuan yang berujung pada kematian 125 orang — salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.