The New York Times: Sepak Bola, Kematian dan Polisi yang tak Pernah Salah

Olahraga  

Untuk mengantisipasi kekerasan dalam pertandingan sepak bola, banyak polisi muncul dengan mengenakan helm, rompi dan tameng, serta bersenjatakan tongkat. Beberapa klub penggemar memiliki komandan yang terlibat dalam pelatihan fisik untuk mempersiapkan pertarungan. Beberapa tim tiba di pertandingan dengan pengangkut personel lapis baja.

Namun, para ahli mengatakan mereka terkejut dengan tanggapan kacau polisi di stadion pada hari Sabtu, mengingat bahwa kekerasan sepak bola biasa terjadi di negara itu–dengan seringnya perkelahian antara penggemar klub saingan–dan bahwa polisi harus memiliki pedoman untuk setiap kerusuhan.

Pada tahun 2018, polisi anti huru hara menembakkan gas air mata di Stadion Kanjuruhan di Malang ketika terjadi kekerasan dalam pertandingan yang melibatkan tim tuan rumah, Arema. Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun meninggal beberapa hari kemudian. Tidak ada laporan apakah ada penyelidikan atas kematiannya atau bagaimana polisi menangani kerusuhan itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sekarang, pihak berwenang berencana untuk menyelidiki apa yang salah pada hari Sabtu, ketika ribuan pendukung berkumpul di Malang untuk melihat Arema menjamu Persebaya Surabaya. Setelah Arema mengalami kekalahan mengejutkan, 3-2, beberapa fans berlarian ke lapangan. Polisi kemudian melepaskan gelombang kekerasan dan menembakkan gas air mata, kata saksi mata.

Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan mengatakan bahwa petugas yang dicurigai melakukan kekerasan yang salah di stadion akan menghadapi tuntutan pidana.

Pada Minggu (2/10), Kapolres Jatim Irjen Nico Afinta mengatakan polisi telah mengambil tindakan sesuai prosedur. Dia mengatakan bahwa gas air mata telah dikerahkan “karena ada anarki,” dan bahwa penggemar “akan menyerang petugas dan merusak mobil.”

Sebagai tanda bahwa Polres Malang telah berupaya mengantisipasi aksi kekerasan tersebut, pihaknya meminta pihak penyelenggara untuk memundurkan pertandingan menjadi pukul 15.30 WIB. “demi pertimbangan keamanan,” demikian surat yang beredar di dunia maya dan isinya dikonfirmasi oleh Polda Jatim kepada The New York Times.

Slot waktu yang lebih awal, menurut pemikiran itu, akan membuat acara lebih ramah keluarga. Namun permintaan polisi itu ditolak. Penyelenggara tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar pada hari Senin.

Banyak aktivis HAM mengatakan bahwa untuk meningkatkan taktik penegakan hukum, mereka secara konsisten membuat rekomendasi ini kepada polisi: Jangan langsung ambil gas air mata; jangan mengayunkan tongkat pada orang berdasarkan insting pertama; memahami bagaimana mengendalikan orang banyak; meredakan konflik.

“Prosedur operasi standarnya jangan sampai polisi loncat dari nol ke 100,” kata Wirya, dari Amnesty International Indonesia.

Sumber: [The New York Times/ Sui-Lee Wee/Dera Menra Sijabat]

Penulis: Teguh SetIawan Jurnalis Senior mantan wartawan Republika.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image