Pada 19 Desember 2022 Belanda Meminta Maaf Atas Bisnis Budak Selama Masa Kolonialnya

Sejarah  

VOC dan Budak

Reggie Baay, dalam Over deze Nederlandse slavernijgeschiedenis hebben we het nooit, menulis VOC membangun kejayaan lewat perdagangan budak, bukan rempah-rempah.

Hampir semua karyawan VOC terlibat perdagangan budak. Di Indonesia, orang-orang dari luar Jawa dibawa ke Batavia dan diperdagangkan sebagai budak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tidak hanya menjual, VOC juga memungut pajak atas budak. Semua itu berlangsung sekian ratus tahun. Menariknya, VOC justru bangkrut akibat bisnis budak yang dijalankan secara mandiri oleh karyawannya.

VOC bangkrut tahun 1975, dan Republik Bataaf -- nama resmi Kerajaan Belanda saat itu -- menasionalisasi perusahaan dagang itu. Namun pengambi-alihan baru terjadi tiga tahun kemudian, yaitu 17 Maret 1798, dan pemerintah Belanda harus menanggung beban utangnya.

Hak Ooktroij VOC diperpanjang satu tahun lagi, dan pada 31 Desember 1799 VOC lenyap dari Nusantara. Tahun berikut penjajahan pemerintah Belanda atas Hindia Belanda dimulai.

Menariknya, pemerintah Belanda meneruskan praktes bisnis VOC, salah satunya -- dan yang paling menguntungkan -- perdagangan budak. Ini bisa dimengerti karena pembukaan lahan perkebunan sedemikian besar membutuhkan tenaga kerja murah, alias budak.

Di Eropa, gerakan penghapusan budak terjadi sejak paruh pertama abad ke-19. Prancis menghentikan perdagangan budak tahun 1933. Inggris melakukan hal serupa tahun 1848, meski harus mengeluarkan biaya besar untuk membayar kompensasi kepada industri perkebunan.

Jadilah Belanda sendirian berdagang budak. Tahun 1859, terjadi pertengkaran hebat di parlemen Belanda, yang akhirnya keluar keputusan menghapus perbudakan di sekujur Hindia-Belanda paling lambat 1 Januari 1860.

Ternyata keputusan itu tidak pernah diberlakukan. Perdagangan budak berlanjut, sampai muncul keputusan kedua pada 1 Juli 1863.

Keputusan ini pun tidak sepenuhnya dijalankan karena pemilik dan pedagang budak meminta kompensasi sedemikian besar. Pemilik budak minta pemerintah Hindia-Belanda menebus budak mereka. Tidak ada tebusan, perbudakan terus berjalan.

Pemerintah Hindia-Belanda hanya menebus 4.739 budak. Itu pun terbatas hanya di Jawa. Di luar Jawa, terutama di Sumatera, belasan ribu budak masih bekerja di perkebunan.

Penghapusan perbudakan hanya akan membuat hukum besi kapitalisme; dengan modal sekecil-kecilnya dan meraup untung sebesar-besarnya, tidak akan berjalan. Budak adalah buruh murah, bahkan buruh gratis.

Akibatnya, perbudakan di Hindia-Belanda bertahan sampai dekade pertama abad ke-20, atau 50 tahun setelah diputuskan untuk dihapus. Di luar Hindia-Belanda, perbudakan ternyata bertahan sampai periode dekolonisasi.

Menurut Reegie Baay, semua ini tidak memiliki tempat dalam memori kolektif orang Belanda, dan tidak ada dalam sejarah nasional yang diajarkan di sekolah. Belanda seolah ingin melupakan semua itu, tapi dosa masa lalu menuntut penebusan.

Penulis: Tegh Setiawan, Penukis dan mantan jurnalis Republika.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image