Budaya

Kisah Makna Toleransi dan Pancasila Sejati: Ingat Kampung Jelang Natal

Gaya busana santri di Jawa di masa lalu.
Gaya busana santri di Jawa di masa lalu.

Setiap kali jelang Perayaan Natal, ingatan saya langsung terbang ke kampung masa kanak. Kala itu kami yang bergama Islam selalu membayangkan banyaknya orang mudik dari tetangga, hingga kerabat dalam keluarga besar saya. Kampung mendadak banyak orang yang ingin merayakan Natal di rumah asal. Kampung yang berada di kasawan pesisir selatan Jawa tengah itu ramai. Mobil dari berbagai penjuru berdatangan.

Memang penganut Kristiani dikampung kami minoritas. Tapi itu merupakan saudara. Eyang buyut mereka masih duhulu beragama Islam. Mereka berpindah keyakinan terindikasi mulai akhir tahun 1800-an atau awal 1900. Setelah kuliah saya paham dengan membaca berbagai litelatur dari mana asal usul 'dakwah' atau missi itu. Ternyata, kiranya itu hasil kerja misonaris legendaris Kyai Sadrach yang letaknya kampungya hanya belasan kilometer dari kampun kami, yakni di wilayah Purworejo bagian selatan.

Adanya perindahahan keyakinan dari hasil kerja jaringan misonaris Kyai Sadrach itu dapat pada beberapa indikasi. Misalnya munculnya nama Gereja Kerasulan Baru hingga nama liturgi di gereja yang memakai bahasa Jawa, misalnya istilah kolekte (pengumpulan dana untuk gereja, kalau dalam Islam Shadaqoh) diganti nama menjadi 'pisungsung' (persembahan kawula kepada raja, bhs Jawa). Dua istilah ini sangat khas bila mempelajari model misi Kyai Sadrach yang mengawinkan nilai dan istilah Kristen ke penyebutan Jawa.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Indikasi lain, adalah sosok dan nama unik dari para guru yang menjajarkan Bibel (ajaran Kristen/Injil) kepada orang Jawa yang saat itu masih sangat sederhana atau minimal pemahaman islamnya. Ini misalnya, kalau di Islam ada orang yang disebut 'modin' atau 'Kaum' (di jawa red), yang selama ini mengatur pendidikan dan pelayanan sosial kepada warga Islam, di pihak penduduk kampung kami yang memeluk Kristen muncul sebutan 'Guru Injil'. Hebatnya, di kampung kami kedua profesi ini diakui dengan adanya papan nama petunjuk diujung jalan. Baik papan nama kaum dan papan nama guru injill terpancang dengan lengkap dan jelas dipinggir jalan. Tak ada pembedaan.

Lalu bagaimana cara mengajarkan agama kepada penduduk di kedua belah pihak itu? Tentu saja, keduanya membaurkan ajaran islam dengan nilai-nilai budaya Jawa yang dianutt masyarakatknya. DI Islam misalnya ada pengajaran kitab yang khas dengan memakai bahasa Jawa tinggi meski kami keseharian tidak bicara dengan dialek Jawa tersebut, Kami bicara dengan dialek yang disebut 'ngapak' dengan berbagai variasi khas kami yang ternyata itu dikemudian hari diasadari meruoakan bahasa yang lebih 'asli' dari bahasa Jawa gaya Mataram yang disebut bahasa Jawa Baru karena baru mulai eksis pada masa Sultan Agung yakni pada tahun 1600-an. Maka lahirlah apa yang kini disebut 'puji-piujian', yang itu diperdengarkan dengan suara lantang baik sebelum adzan, pada masa yasinan dan kenduri, hingga slamaten. Bahkan, sampai kini masih lazim kami dengar lagu atau qiraat' pembacaan surat Al Ikhlas bergaya Jawa yang khas yang mirip dengan orang Jawa yang tengah 'uro-uro' atau bersenandung.