Kisah Makna Toleransi dan Pancasila Sejati: Ingat Kampung Jelang Natal

Budaya  

Lalu bagaimana dengan warga kami yang penganut Kristiani? Jawabnya sama saja. Mereka juga 'memblend' ajaran agamanya dengan budaya Jawa. Ini misalnya dengan cara bagaimana para penganut kristiani di kampung kami, terutama kepada warga sepuh, yang semat mendapat pengajaran kisah para 'rasul', menjadi babad Para Rasul. Semua orang tua kami yang sekolah dasar pada tahun 1940-an tahu akan soal ini. Mengapa? karena mereka bersekolah pada sekolah yang dikelola para misi, yakni sekolah dasar Masehi. Pelayanan sekolah ala klasikal ini kala itu para warga dapatkan karena saat itu belum ada sekolah dasar negeri. Yang Islam kalau pagi sekolah di SD Masehi, sedangkan kalau di petang hari dan malam, mereka mendapat pengajaran Islam melalu para ustazd di surau dan pesantren.

Apakah tidak penah terjadi ketegangan? Jawabnya, pernah. Itu terjadi pada dekade akhir 1970-an. Kala itu pemerintah Orde Baru menyebarluaskan 'toleransi salah' kaprah dengan jargon: semua agama sama saja karena mengajarkan kebaikan. Dan situasi ini kala itu sangat jeli dilihat oleh ulama besar Buya Hamka dengan melalui protes dengan cara meletakkkan jabatan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka tak mau menjadi stempel jargon itu.

Harus diakui, kala itu ketika suasana panas akibat peristiwa berdarah G30S PKI di tahun 1965 yang masih sangat terasa dengan ditunjukkan adanya kenyataan banyak saudara kami yang di-KTP-nya diberi tanda 'OT', maka kampung sempat sedikit bergejolak. Apalagi saat itu beredar pidato khotbah rekaman dari seseiorang yang bernama Yusuf Roni yang kemudian menjadi polemik serius dengan ulama dari Surabaya, Bey Arifin.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Penulis sebagai seorang anak-anak melihat imbas itu dan juga mendengar khotbah yang bernada sangat peyoratif bagi salah satu agama ari Yusuf Roni. Situasi makin panas ketika saudara-saudara kampung kami yang Muslim ikut pergi ke gereja untuk dalam peringatan Natal. Bahkan, kala itu banyak saudara kami yang Kristiani ikut serta dalam peringatan hari besar Islam, seperti Maulid dan Isra Mi'raj' yang diselenggarakan di masjid. Situasi rukun dan damai yang hadir pada masa awal eyang kami dahulu mendadak hilang. Berubah jadi tegang.

Untunglah situasi itu, tak berlangsung lama. Setelah muncul sikap Buya Hamka yang itu kemudian dipraktikkannya dalam bentuk nasihat di forum pengajian kecil-kecilan rutin seperti yasinan, selapanan, pemahaman umat Islam pulih. Mereka sadar bahwa toleransi sejati bukan ikut mengiukti ibadah (ritual) pihak lain. Mereka sadar akan posisi pirbadinya masig-masing dan tak pernah lagi mencoba mencampurbaurkan.

Syukurnya, meski sempat tegang, para orang tua kampung kami tak pernah memutuskan tali asih melalui silaturahmi yang sangat 'genuine' dan konkrit. Salah satu contohnay dan ini terkenang sampai sekarang adalah tradisi berbagai makanan ketika datang hari raya Idul Fitri dan Natal. Lazimnya, setelah pulang dari shalat Idul Fitri kami biasa membawakan makanan yang menjadi hidangan tamu di hari raya. Saya sendiri yang selalu membawakan sajian itu. Opor ayam, ketupat, sambal goreng ati, hingga makanan ringan lebaran selalu kami kirimkan ke tetangga rumah kami yang Nasrani yang juga masih kerabat itu.

Begitu juga sebaliknya. Kala hari Natal tiba, sehabis pulang dari gereja yang letaknya hanya sekiitar 200 meter dari rumah, mereka pun mengantarkan makanan hari raya Natal ke kami. Makannya juga sama lengkap. Bahkan, mereka selalu memberii tahu bila makanan yang dia kirim itu ada ayam gorengnya. Dan mereka selalu memberi tahu bila tak usah khawatir dengan tidak memakannya, karena yang potong ayam adalah 'Pak Modin/ Kaum'. Jadi pasti dijamin halal.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image