Budaya

Antara Emha Ainun Nadjib dan Ebiet G Ade: Dua Pendekar dari Satu Sarang

Dari kiri, Emha Ainun Nadjib,, Ebiet G Ade, EKo Tunas, dan Eha Kartanegara.
Dari kiri, Emha Ainun Nadjib,, Ebiet G Ade, EKo Tunas, dan Eha Kartanegara.

Pada tahun 1970-an muncul cerita bersambung (cerbung), bertema sejarah kekuasaan Jawa yang sangat laris di kalangan masyarakat Yogyakarta. Kisah itu ditulis SH Mintardja dengan judul ‘Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang’. Serial ini menceritakan tentang peralihan kekuasaan dari masa kerajaan Singasari ke Majapahit. Cerita ini sangat laris dijual dalam bentuk stensilan di kios koran dan buku, bahkan hingga emperan jalan. Sanggar Pritivi di Jakarta kala itu juga menyajikannya dalam bentuk serial drama radio yang disiarkan ke seantero nusantara.

Berkat kisah ‘Sepadang Ular Naga Di Satu Sarang’ sosok SH Mintardja melambung ke langit. Bahkan dalam cerbung berikutnya dengan judul ‘Api di Bukit Menoreh’ yang kemudian dimuat setiap hari cuplikannya di Harian Kedaulatan Rakyat’ nama Mintardja yang tinggalnya tak terlalu jauh dari Kraton Yogyakarta mencapai puncak. Sultan Hamengku Buwono X yang kala itu masih menjadi pangeran muda atau ‘Pangeran Pati’ (calon penerus tahta) memuji karya ini setinggi langit.

Sultan Yogyakarta yang kala itu masih memakai nama Gusti Pangeran Herjuno sempat menyebut bila kisah Api Di Bukit Menoreh itu dapat dengan cermat dan memukau menceritakan latar belakang hingga suasana perpindahan –sekaligus pertarungan kekuasaan, dari Pajang yang berada di kawasan pesisir utara Jawa ke sebuah kawasan hutan yang masih perawan, terpencil, serta berada di kawasan pedalaman pantai selatan Jawa, yang disebut Mentaok.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Stensilan cerbung Sepasang Ular Naga di Satu Sarang.
Stensilan cerbung Sepasang Ular Naga di Satu Sarang.

Mintardja, kata Pangeran Herjuno atau kini Sultan Hamengku Bawono ke X, pada suatu kesempatan memberikan penilaian, bila Mirtardja memang menceritakan suasana perpindahan kekuasaan dari Demak (Pajang) ke Mataram dengan memikat. Jejak nama para tokoh yang ada di kisah ‘Api Di Bukit Menoreh’ sampai kini pun masih sangat mudah ditemui. Misalnya munculnya nama-nama Arya Seloka, Sedah Mirah, Pudak Wangi, dan lainnya yang kini banyak dipakai sebagai nama orang. Padahal aslinya nama ituadalah hasil rekaan SH Mintardja dalam cerita bersambung tersebut.

Alhasil baik cerbung ‘Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang’ cerita bersambung ‘Api Di Bukit Menoreh’ memang sama-sama bercerita tentang pergantian kekuasaan Jawa. Bedanya hanya soal kurun, aktor pelaku, dan latar belakangnya saja. Kesultanan Mataram yang asalnya berpusat di Kota Gedhe kemudian pada zaman berikutnya di dekat wilayah itu kemudian muncul –setelah sempat ibu kota kerajaan Mataram pindah ke Kartasura dan terjadi pembagian kekuasaan— apa yang kini dikenal sebagai Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo).

Cerbun Aopi Di Bukit Menoreh.
Cerbun Aopi Di Bukit Menoreh.

Hampir sama dengan kurun puncak kepopuleran SH Mintardja, dari Yogyakarta tepatnya melalui sekolah SMA Muhammadiyah I, munculah ‘anak muda usiran’ Pesantren Gontor di Jawa Timur menjadi penyair, yakni Muhammad Aninun Nadjib yang kemudian dikenal dengan sebutan Emha Ainun Nadjib. Bakat anak ini memang luar biasa. Melalui bimbingan Presiden Malioboro asal Sumbawa, Umbu Landu Paranggi, sosok Emha secara perlahan melambung tinggi. Kiprah kepenyairan dan kesenimannya menyebar. Bakatnya sebagai penulis dan orator makin memuncak pada rentangan waktu mukai1970-an. Nama Emha berkibaran di kalangan anak muda terpelajar Yogyakarta. Ceramahnya menghiasai berbagai forum diskusi mahasiswa, puisi dan cerpennya menyebar ke media massa. Melalui koran ‘Masa Kini’ dan ‘Kedaulatan Rakyat’pikirannya yang segar diperbincangkan secara luas. Nama Emha makin dikenal ketika kala itu juga aktif sebagai orang yang diajak ikut mewarnai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Melalui kiprahnya di panggung kampanye Pemilu 1977 itulah nama Emha semakin tinggi melanglang buana.