Antara Emha Ainun Nadjib dan Ebiet G Ade: Dua Pendekar dari Satu Sarang

Budaya  
Cerbun Aopi Di Bukit Menoreh.
Cerbun Aopi Di Bukit Menoreh.

Hampir sama dengan kurun puncak kepopuleran SH Mintardja, dari Yogyakarta tepatnya melalui sekolah SMA Muhammadiyah I, munculah ‘anak muda usiran’ Pesantren Gontor di Jawa Timur menjadi penyair, yakni Muhammad Aninun Nadjib yang kemudian dikenal dengan sebutan Emha Ainun Nadjib. Bakat anak ini memang luar biasa. Melalui bimbingan Presiden Malioboro asal Sumbawa, Umbu Landu Paranggi, sosok Emha secara perlahan melambung tinggi. Kiprah kepenyairan dan kesenimannya menyebar. Bakatnya sebagai penulis dan orator makin memuncak pada rentangan waktu mukai1970-an. Nama Emha berkibaran di kalangan anak muda terpelajar Yogyakarta. Ceramahnya menghiasai berbagai forum diskusi mahasiswa, puisi dan cerpennya menyebar ke media massa. Melalui koran ‘Masa Kini’ dan ‘Kedaulatan Rakyat’pikirannya yang segar diperbincangkan secara luas. Nama Emha makin dikenal ketika kala itu juga aktif sebagai orang yang diajak ikut mewarnai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Melalui kiprahnya di panggung kampanye Pemilu 1977 itulah nama Emha semakin tinggi melanglang buana.

Uniknya, di kala Emha sosoknya mulai melambung, lahir seorang ‘ikon baru’ dalam dunia musik Indonesia. Sosok itu adalah Abid Ghoffard bin Aboe Djaffar, atau dikenal dengan sebutan Ebiet G Ade. Anak dari dusun Wanadadi Banjar Negara yang juga bersekolah di SMA I Yogyakarta tiba-tiba melonjak ke langit popularitas bak meteor. Lagu dan album Camelianya yang mencapai empat serial itu menggegerkan dunia musik Indonesia. Tiba-tiba album ini terjual dalam capaian jutaan kopi. Lagu Camelia, terutama lagu ‘Berita Kepada Kawan’ menjadi lagu abadi dan sempat disebut oleh Majalah Rolling Stones Indonesia sebagai salah satu lagu terbaik dalam kurun 100 tahun musik Indonesia.

Lebih unik lagi, dan jangan kaget, bila antara Emha dan Ebiet punya hubungan khusus yang oleh keduanya diakui sudah seperti ‘kakak dan adik’. Emha menjadi pembimbing Ebit ketika mengawai karier musiknya. Ini misalnya ketika mulai dikenalnya nama Ebiet di kalangan seniman Yogyakarta ketika menyinyikan puisi Emha yang berjudul ‘Ku Bakar CIntaku’ di sebuah gedung pertunjukan yang lokasinya kini sudah menjadi bagian lingkup Istana Presiden di Yogyakarta, gedung Seni Sono.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mulai saat itulah Ebiet yang kala itu didampingi Emha bersama dengan dua nama lainnya, yakni Eko Tunas (Pelukis) dan Eha Kartanegara (Penulis dan wartawan Republika) mulai percaya diri punya bakat spesial dalam menyanyi dan menulis lirik lagu. Bahkan, kata Eha, cukup lama Emha membimbing Ebiet yang sebenarna pemalu agar berani bernyanyi di depan publik sehabis dia berceramah dalam forum-forum dikusi.

Emha kemudian memang ‘mencangking’ Ebiet dalam berbagai pentas seni, mulai dari panggung kesenian ‘Ramadhan ing Kampus’ di UGM Yogyakarta atau tempat pertunjukan kesenian bergengsi di Yogyakarta kala itu, yakni di gedung Karta Pustaka yang berada di kawasan Kota Baru.

’’Ebiet yang menyanyi saya menemaninya saja,’’ kata Emha dalam sebuah pengajian menceritakan kebersamaanya bersama Ebiet. Ini kemudian di kesempatan lain ditimpali Ebiet bila kala itu dia menyanyi sementara Emha memang duduk di sampingnya sembari meniup seruling.’’Cak Nun itu kakak sekaligus guru saya. Setelah kami sama-sama sibuk, kami pun bertemu kembali. Momen itu sangat unik, yakni di depan kebun binatang di Jerman. Cak Nun ternyata kala itu tengah berada di Jerman. Begitu jumpa kami langsung berpelukan,’’ kata Ebiet saat mengenangkan pertemuan pertamanya kala namanya sudah sangat tersohor di blantika musik Indonesia.

Jejak Emha pada diri karya dan karier musik Ebiet pun sangat jelas. Ini dibuktikan misalnya dalam sampul album perdana, Camelia I. Di sana jelas tertera mengenai peran Emha Ainun Nadjib yang disebut di tulisan yang ada dicover itu menyanyikan – Eko Tunas bahkan menyebut memang sempat ada duet -- antara Ebiet dan Emha. Bakan bilsa ditelisik lagi syair lagu Ebiet sangat penuh dengan pilihan diksi dalam syair puisi Emha Ainun Nadjib. Dan ini masuk akal sebab antara Emha, Eibet, Eko, dan Eha ( 4 E ) sempat tinggal serumah dan sepermainan. Usai Emha memang berselang beberapa tahun lebih tua dari Ebiet.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image