Perpanjangan Masa Jabatan: Lurah Apakah Masih Jabatan Pengabdian di Desa? Atau Cari Kekayaan?

Budaya  

Pemilihan lurah di masa lalu
Pemilihan lurah di masa lalu

Perubahan ini makin kentara ketika para lurah pada hari-hari terakhir ini meminta perpanjangan masa jabatan. Tak hanya dari sebelumnya yang hanya enam tahun, kini sudah diminta agar diperpanjang hingga sembilan tahun. Bahkan, kini sudah terdengar suara permintaan agar diperpanjang sampai 27 tahun.

Kenyataan ini jelas menyatakan lurah masa kini ingin kembali ke periode masa lalu yang bisa berlangsung seumur hidup dan kembali menguasi simbol kekuasaan dan mistisnya secara penuh. Para lurah terlihat ingin mendapat perlakukan kekuasaan layaknya konsep kekuasaan Jawa: dewa raja (deva raj).

Dan ini makin relevan dengan situasi masa kini di mana desa bisa setiap tahun bisa mendapat gelontoran uang milyaran rupiah. Situasi ‘berbau’ serba duit ini sangat terasa bersamaan dengan rakyat desa dalam 10 tahun terakhir sebagian mendapat gelontoran berbagai dana subsidi langsung dari pemerintah. Nuansa proyek terasa sekali. Paling tidak ini yang menyebabkan budaya desa di masa lalu, yakni gotong royong, mislanya kerja bakti membersihkan prasarana dan sarana umum desa tak ada lagi. Warga selalu melihat untuk apa melakukan gotong royong tokh lurah sudah punya dana banyak sekali. Maka, kalau mereka diminta mengerjakan sesuatu untuk desa harus dibayar.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Yang paling penting lagi, bila di masa lalu menjadi lurah lebih karena pengabdian sebab lazimnya mereka yang menduduki jabatan itu ‘harus warga desa’ berpunya, kini menjadi terbalik. Mereka mengejar menjadi lurah karena iming-iming lebih mendapat keuntungan material, sebab warga desa tak lagi menganggap begitu tinggi posisi kekuasaan dan mistisnya.

Maka wajar bila sekarang ini, yakni pada saat calon lurah berkompetisi dalam pemilihan, mereka habiskan begitu banyak uang. Tradisi sebelum pemilihan lurah di masa lalu untuk ‘begadang’ di rumah para calon lurah mereka reduksi menjadi ajang pesta pora dan bagi-bagi uang. Celakanya, kesempatan uang itu balik kini semakin kecil karena ketatnya pengawasan pemerintah atas kasus korupsi. Ini misalnya dengan dicabutnya ketentuan ‘pologoro’ (pembagian uang dari jual beli tanah warga ke kas desa), hingga mulai secara perlahan adanya pencabutan tanah ‘bengkok’. Akibatnya, keinginan para lurah agar dijadikan pegawai negeri sipil, seperti yang sudah terjadi pada sekretaris desa, makin menggebu-gebuh. Padahal tujuan aslinya yang terbesar adalah keinginan material, terutama pendapatan dan balik modal pencalonan.

Alhasil, bila para lurah kini meminta perpanjangan masa jabatan itu pertanda sudah terjadi perubahan dahsyat di sebuah wilayah yang masih dikategorikan peundangan sebagai di desa. Bayangan yang ada di berbagai film masa kini mengenai sosok lurah yang menguasai simbol kekuasaan dan mistis seperti di masa lalu, kini telah menghilang atau pudar. Dan ini benar saja, film itu memang kerapkali tak ubahnya bayangan mimpi manusia!

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image