Sejarah

KH Saifuddin Zuhri melunakkan Rois "Am NU, KH A Wahab Hasbullah Soal Pernikahan Soekarno

Soekarno dan Haryatie.
Soekarno dan Haryatie.

Oleh: Lukman Hakiem, Penulis Biografi Politik dan Mantan Anggota DPR RI.

Memanfaatkan waktu istirahat sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di istana, sejumlah kiai lintas ormas yang menjadi jamaah tetap shalat Dzuhur di Masjid Baiturrahim lingkungan Istana, melaksanakan shalat berjamaah. Mereka ialah Rois "Sama Syuriah PBNU, k.H.A. Wahab Hasbullah, Ketua Umum PB NU, Dr. K.H. Idham Chalid, K.H. Rusli Abdul Wahid (Perti), dan Prof. K.H. Farid Ma'aruf (Muhammadiyah).

Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri dan Mbah Wahab, hari itu datang ke masjid agak terlambat, sehingga kedua tokoh itu tidak cepat meninggalkan masjid seusai shalat berjamaah.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mbah Wahab Tidak Sudi Menginjak Istana lagi.

Dengan wajah keruh, Mbah Wahab duduk di trap Masjid. Dari bibirnya terucap kalimat dalam bahasa Jawa yang terjemahannya sebagai berikut: "Segla-gilanya, dia tetap anakku."

Sepatu yang sudah diambil, dibanting sambil terdengar gerutuan: "Kalau bukan karena tugas perjuangan, tidak Sudi saya menginjak tempat (istana) ini." Melihat wajah keruh Mbah Wahab,

Kiai Saifuddin tidak sanggup memandang wajah pemimpin tertinggi NU itu.

"Mengapa Kiai?" Saifuddin mberanikan diri bertanya sambil pura-pura mengikat tali sepatu.

"Saudara kan sudah membaca di koran bahwa Wahib telah divonis perkaranya oleh pengadilan. Sekarang dia digugat pelanggaran lain oleh jaksa."

Saifuddin dapat memahami apa yang sedang dirisaukan Rois 'Aam. K.H. Wahib Wahab adalah putra sulung Mbah Wahab. Sebagai seorang ayah, wajar saja kalau Kiai Wahab menginginkan putra sulungnya menjadi curahan segala harapan. Namun tiba-tiba kenyataan berbicara lain. K.H. Wahib Wahab meletakkan jabatan selaku menteri agama tanpa sepengetahuan Mbah Wahab. Lalu menyusul perkaranya yang telah diputus oleh pengadilan negeri dan masih akan digugat dengan kasus lain.

Sebagai warga NU, batin Saifuddin ikut merasa terpukul. Saifuddin merasa wajib berjuang melepaskan derita lahir dan batin yang sedang mendera K.H. Wahab Hasbullah.

Berhari-hari menteri agama Saifuddin Zuhri berpikir, mencari cara membebaskan derita Mbah Wahab, tokoh yang sepanjang hayatnya telah beramal bakti, bekerja keras membesarkan NU hingga Nu menjadi kekuatan nasional dan potensi Islam yang diperhitungkan, sampai akhirnya Saifuddin merasa tidak ada cara lain kecuali mesti menghadap Presiden Sukarno.

"Kelihatannya seperti sedang ada yang membebani pikiran Saudara," ujar Presiden Sukarno ramah begitu melihat kedatangan Saifuddin. "Ada apa?" tanya Presiden, menyelidik.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan Presiden mengenai perkara Wahib Wahab," jawab Saifuddin .

"Kan sudah diputus oleh pengadilan supaya Wahib Wahab membayar denda. Katakan kepadanya, agar dia membayar denda itu, daripada masuk penjara."

"Tetapi, sekarang dia digugat lagi dengan tuduhan yang baru," kata Saifuddin.

"Yang itu, says belum menerima laporannya.

"Saya dengar," kata Saifuddin, "Wahib Wahab memang sedang digugat dengan perkara lain. Saya mohon agar kiranya Presiden berkenan memberi abolisi kepada Wahib Wahab, supaya gugatan baru tidak dilanjutkan "

Bung Karno merenung. Jari jemarinya diketuk-ketukkan di atas meja. Setelah itu, Presiden Sukarno menatap wajah Saifuddin seraya berkata: "Kalau begitu, baik. Tulis saja permohonan abolisi buat saudara Kiai Wahib Wahab. Bikin saja surat permohonannya sekarang."

"Baiklah, besok akan saya haturkan surat itu, insya Allah," kata Saifuddin.

"Tidak usah besok. Sekarang saja Saudara bikin di sini," ujar Presiden bernada perintah.

"Hei ajudan," seru presiden. Seorang ajudan segera datang. "Ambilkan kertas tulis dsn sampulnya. Pilihkan yang tidak ada kop presiden," perintah Presiden kepada ajudan.

Saifuddin terkejut. Demikian sangat kontan sambutan Presiden terhadap permohonan abolisi yang diajukan secara lisan oleh Saifuddin. Begitu sekonyong-konyong tanggapannya.

Setelah menerima kertas dari ajudan presiden, Saifuddin segera menulis permintaannya. Atas nama pribadi, Saifuddin memohon kepada Presiden Sukarno agar berkenan memberi abolisi kepada K.H. Wahib Wahab atas kemungkinan tuntutan perkara baru oleh kejaksaan.

Setelah dibaca ulang, surat permohonan yang ditulis tangan itu langsung diserahkan kepada presiden Sukarno.

Saifuddin merasa telah berbuat sesuatu untuk meringankan beban derita Rois 'Aam NU.