Sejarah Betawi: Dari Camp Maccasare, Amanusgracht, Hingga Kampoeng Makasar

Sejarah  

Tidak diketahui kapan tanah permukiman etnis Makassar di samping Land Tjondet of Landlust berubah jadi tanah partikelir. Jika melihat peta Hindia Belanda 1815, perubahan terjadi sebelum memasuki abad ke-19 atau di penghujung usia kongsi dagang VOC. Saat itu, etnis Makassar di wilayah itu telah melewati satu generasi dan beranak pinak.

VOC yang membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk memperlambat kebangkrutan hanya punya satu cara; membuka tanah partikelir baru dan menjualnya ke investor Tionghoa atau warga bebas kulit putih. Permukiman etnis Makassar, seperti juga Kampung Melayu di Meester Cornelis dan Kampung Bali di Pesing, mengalam nasib itu, yaitu dijadikan tanah partikelir dan dijual.

Ketika menjadi tanah partikelir, permukiman etnis Makassar itu tercatat dalam Staat der Partikulier Landerijen sebagai Kampong Makassar. Pada paruh kedua abad ke-19, Kampong Makassar dimiliki landheer Tionghoa Khouw Tjeng Po, dan dikelola sebagai perkebunan kelapa dan persawahan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kepemilikan Khouw Tjeng Po bertahan sampai pergantian abad. Ini ditunjukan dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1870 dan 1876. Jelang pergantian abad, Kampong Makassar dimiliki Eugene Ernest Alexis Constant Dieudonne d'Hollosy, biasa ditulis E.d’Hollosy. Planter kelahiran Banyumas 13 May 1876 ini mencatatkan kepemilikan Kampong Makassar atas nama Cultuurmaatschappij Kampong Makasser en Harmendal.

Tahun 1904, Kampong Makassar terpecah menjadi Groote (Besar) Kampong Makasser dan Klein (Kecil) Kampong Makassar.9 Dalam Batavia en Omstreken 1925 terdapat lima nama Makassar; Klein Kampong Makassar, Groote Kampong Makassar, Makasar, Makassar Ilir, dan Makassar Oedik. Artinya, tanah etnis Makassar sedemikian besar.

E.d’Hollosy mempertahankan kepemilikan Kampong Makasser sampai sekitar tahun 1925. Sebelum memasuki dekade keempat abad ke-20, Kampong Makasser berpindah ke tangan Syech Abdullah bin Salim bin Makri.10 Entah berapa lama Syech Abdullah memiliki tanah ini. Yang pasti, tahun 1930 pemerintah Belanda membeli kembali Kampong Makassar dari tangan pemilik terakhirnya.

E.d’Hollosy menghabisan dua dekade hidupnya di Meester Cornelis dan meninggal di tengah hiruk-pikuk perang dekolonisasi pada 4 January 1947. Ia selamat dari kamp interniran selama pendudukan Jepang namun tidak diketahui di mana dia ditahan. Yang pasti Kampong Makassar, tanah yang pernah dikuasainya selama beberapa dekade, menjadi kamp interniran untuk warga kulit putih Belanda di era Jepang.

Setelah Jepang angkat kaki dari Hindia-Belanda dan E.d’Hollosy kembali ke rumahnya di Meester Cornelis, kabar duka datang; Henri Theodore d’Hollosy, anak lelakinya, meninggal di kamp tawanan perang di Hakodate, Jepang, pada 12 Desember 1942.

Penulis: Teguh Setiawan, mantan jurnalis Republika.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image