Ramadhan dan Jalan Makrifat Jihad Pangeran Diponegoro
Kebanyakan publik menganggap Pangeran Diponegoro bukan sebagai pangeran yang santri. Sosok ini selama ini dikesankan sebagai layaknya orang Jawa pada umumnya. Bahkan, kerap dikesankan tak tahu apa-apa soal ilmu-ilmu dan ajaran Islam.
Padahal Pangeran yang disebut juga Antawirya ini adalah pengikut tarikat Satariyah. Tarikat ini mengajarkan pencarian dan rasa saling 'asyik' dan berdekatan dekatan zat Allah. Tarekat ini memang terkesan lebih keras kepada penjajah yang saat itu menguasai dunia Islam. Tarikat inii memang tidak mengajarkan suatu prinsip hidup aksetis atau uzalah dari kehidupan dunia. Tarikat ini hadir sebagai pembela nurani manusia yang serba lemah.
Dalam babad yang ditulisnya selama hidup dalam pengasingan usia ditangkap Belanda dan dibuang ke Sulawesi Utara hingga akhirnya wafat di Sulawesi Selatan (Makassar), Pangeran Dipongeoro dalam babad yang ditulisnya dengan huruf Jawi (huruf Arab berbahasa Jawa) dia menulis begini soal Makrifat:
Makrifat berarti tolak penduaan:
karena badan ini pasti musnah
tak usah merisaukannya,
kehadirian khayali, terlalu tak berarti untuk
dipertahankan.
Berusahalah hanya demi
Hakikat sejati Yang Mahaada
Makna Islami...
Bait puisi Makrofat Diponegoro itu memang jarang diketahui publik. Namun, yang jelas rangkaian kalimat itu merupakan curahan hati ketika Pangeran Diponegoro (1785-1855) menuliskan kisah hidupnya dalam pengasingan di Makassar. Isinya lirih tapi tegas menyatakan arah sisi spiritualnya.ti
Ketaatan dalam mengamalkan ajaran Islam dari Pangeran Diponegoro tercermin dalam masa akhir perjuangannya. Sebelum ditangkap pada perayaan hari pertema hari raya Idul Fitri oleh Jendral De Cook di Magelang, sebelumnya selama sebulan penuh dia menyepakati gencatan senjata dengan tentara kolonial. Alasannya, untuk menghormati bulan Ramadhan dan Pangeran Diponegoro menyatakan akan sebulan penuh berkonsentrasi dalam menjalankan ibadah puasa.