Ramadhan dan Jalan Makrifat Jihad Pangeran Diponegoro

Sejarah  

Sejarawan Inggris Peter Carey yang sudah lebih dari 30 tahun meneliti sosok bangsawan Keraton Yogyakarta ini menyatakan tak bisa dimungkiri Pangeran Dipongoro merupakan seorang santri. Kepribadiannya kuat sebagai orang Muslim yang taat pelaku penganut tarekat Naqsabandiyah/Syatariah.

''Memang dia banyak kelemahan. Itu wajar sebagai manusia. Tapi, dia bukan orang munafik. Sisi spiritual Diponegoro adalah seorang santri,'' kata Carey. Dia pun menambahkan, sikap dia sebagai "wong Islam" tampak nyata bila menelusuri masa hidupnya. Semenjak kecil, dia mendalami ajaran Islam serta hidup akrab dengan dunia aktvitas Islam di Jawa (pesantren).

Harus diakui, sisi Pangeran Diponegoro sebagai santri belum banyak diketahui. Namun, perlahan-lahan publik mulai tahu ketika Peter Carey menerbitkan tiga buku mengenai Diponegoro, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Buku ini terjual laris di pasaran. Isyarat ini kemudian juga terbukti dengan tingginya minat para pengunjung pameran lukisan dan artefak "Aku Diponegoro" yang beberapa waktu lalu digelar di Galeri Nasional Jakarta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Belakangan juga sudah terbuit buku manuskrip karyanya yang ditulis selama masa pengasingan di Manado: Babad Dipanegara. Buku ini berisi tentang curahan pemikirannya mengenai banyak hal, misalnya soal sejarah Majapahit, kisah nabi-nabi, muncul serta tumbuhnya kerajaan Islam di Jawa, kisah para sunan, konflik Pecinan, Perang Jawa yang dipimpinnya, hingga soal pengasingannya. Naskah ini pun kini sudah diakui sebagai Memory of The Word melaui Unesco. Dan dalam buku itu juga bisa ditelusuri semangat 'Jihad' Diponegoro.

Sejarawan Islam terkemuka Azyumardi Azra mengatakan, tak bisa dimungkiri Diponegoro yang bernama kecil Pangeran Antawirya dan Bendara Raden Mas Mutahar (arti namanya sebagai orang yang disucikan, red) sebagai seorang santri dan pengikut tarekat. Dan, bila keislamannya tak sempurna, itu wajar karena dia manusia biasa. Apalagi, pemahamanan Islam di benak orang Jawa waktu dia hidup juga masih tak sedalam masa kini.

''Pada awalnya memang dia bukan santri. Tapi, ingat gerak zaman sejak abad ke-17,18, 19 di Jawa itu terjadi intensifikasi keislaman. Peran tarekat terus meningkat. Bahkan, kemudian terjadi proses eksklusivikasi tarekat, yakni semakin ketatnya sikap para penganut tarekat dalam menghadapi Belanda,'' katanya.

Dengan kata lain, sebagai seorang ningrat yang kemudian mengalami proses santrinisasi berkat meluasnya ajaran dan jaringan yang dibawa para ulama yang mampu menjangkau ke wilayah Jawa Tengah. Proses keislamannya itu dimulai semenjak masa kanak-kanak ketika dia dibawa nenek buyutnya ke luar dari keraton untuk tinggal di perdesaan Tegalrejo. Setelah tinggal di Tegalrejo itulah, dia kemudian berkenalan ke dalam para penganut tarekat Naqsabandiyah/Syatariah.

Pada sisi lain, Diponegoro begitu kuat melawan kolonial karena dia begitu menghayati ajaran tarekat yang dianutnya. Dengan begitu, kemudian menjadi masuk akal bila di kemudian hari Kolonial Belanda begitu 'ketakutan' terhadap ajaran tarekat karena secara terbuka menyatakan melawan penjajahan adalah sebuah jihad. ''Dalam hal ini pun, Diponegoro mengalami proses intensifikasi rohani yang sangat mendalam. Ini terlihat seiring bertambahnya usia, maka semakin dalam pemahamannya terhadap ajaran Islam,'' ujar Azyumardi.

Bukan hanya itu, seiring dengan meletusnya perang tersebut, mulai saat itu terjadi pula proses intensifikasi Islam di Indonesua, khususnya di Jawa. Ini karena sebelum itu, yakni pada abad ke-17, Jawa belum menjadi pusat keagamaan. ''Pusat keagamaan sebelum abad itu masih berada di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin. Tapi, mulai abad ke-19, Jawa kemudian berubah menjadi pusat jaringan ulama. Nah, salah satu sarananya adalah tarekat itu. Dan, Diponegoro tertarik ke situ,'' katanya.

Fakta berlangsungnya proses intensifikasi rohani Diponegoro, lanjut Azyumardi, makin terlihat jelas ketika dia berkali-kali menyatakan ingin naik haji. Keinginan ini sudah dinyatakan semenjak 1927 atau di tengah kecamuk perang. Ia menyatakan bersedia mengakhiri perang bila diizinkan pergi berhaji ke Tanah Suci Makkah.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image