Gatoloco, Darmogandul: Peyorasi Islam di Indonesia Sepanjang Zaman
Seolah tak bosan dan lekang ditelan zaman, keriuhan kontroversi soal penghinaan ajaran Islam yang kini ramai kembali. Ini karena menyikapi pesan seorang elit politik dalam pernyataannya media sosial instargam, media masa kini di era yang disebut milenial.
Namun, bila ditelisik dalam perkembangan sejarah penyebaran Islam di Nusantara—terutama Jawa—sudah berlangsung sangat lama. Semenjak dulu selalu ada sikap dan tindakan pejoratif, sinis, atau bahkan anti-Islam seperti itu. Jadi sejatinya ini hal yang biasa atau malah bisa disebut lazim terjadi.
Salah satu kenyataan itu akan terlihat jelas bila membaca kembali beberapa buku klasik di dalam kesusteraan ‘Jawa baru’, yakni Dermagandul (ada yang menulis Darmogandul) dan Gatholoco (ada juga yang menulis dengan Gatho Lotjo).
Tak beda dengan instagram di masa kini, pada zaman silam sebelum tahun 1970-an buku atau tulisan semacam ini di Jawa tersebar luas. Orang membicarakan dari mulut ke mulut. Ajaran Islam, fiqh, hingga sosok ulama dan haji jadi bahan olokan. Saking kesalnya, pihak yang tersinggung kerap menyebut olok-olokan Gatholoco sebagai sebutan ‘kothak-kathik gathuk’ (permainan kata-kata) dengan arti: ‘Digathuk-gathuke dadine lucu” (dihubung-hubungkan yang jadinya lucu).
Buku-buku ini masih mudah ditemukan pada era Soekarno, tetapi di larang selama Orde Baru. Namun pada 2005 dan 2006, Dermagandhul diterbitkan ulang di Surakarta dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda, yang merupakan nama samaran (noms de plume) dari satu penulis yang lebih suka namanya anonim karena takut masih adanya larangan resmi penerbitan.
Namun, sekitar dua tahun silam, stensilan buku Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 masih gampang di dapatkan. Di kios buku antik yang berada di pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan Masjid Besar Surakarta) buku ini masih dijual belikan.
Sampul gambar buku Gatholoco sangat sederhana, namun menarik karena terasa antik. Gambarnya memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang duduk bersimpuh di depan seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah gua. Perempuan itu digambarkan dengan memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh keperempuannya terkesan ditonjolkan. Bahasa buku ini terkesan ‘asli’ karena memakai bahasa 'Jawa baru'.