Ketika Media Kehilangan Pengiklan dan Pelanggan Akibat Dukung Politik Etis
Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior dan Penulis Sejarah Kolonial
Tahun 1901, setelah pidato sambil duduk Ratu Wilhelmina, Politik Etis menjadi kebijakan resmi Kerajaan Belanda terhadap Hindia-Belanda. Di Belanda, kabar ini menjadi berita utama hampir seluruh koran. Di Hindia-Belanda, sebagian besar surat kabar — tentu saja yang berbahasa Belanda — sama sekali tidak memuat berita itu.
Sikap koran adalah cerminan pendirian pembacanya. Setiap koran di Hindia-Belanda saat itu adalah corong komunitas bisnis kulit putih Eropa dan Belanda. Jika bersikap mendukung Politik Etis, atau bersikap etis terhadap pribumi, koran itu dipastikan kehilangan pembaca dan pendapatan dari iklan.
Gerard Termorshuizen, dalam karya standar mengenai pers di Hindia-Belanda, memperlihatkan fakta menarik ini. Menurutnya, posisi surat kabar terhadap masa depan koloni — baik secara etis atau tidak — secara signifikan menentukan keberhasilan atau kegagalan Politik Etis.
De Locomotief, koran berbahasa Belanda terbitan Semarang, mendukung Politik Etis. Pieter Brooshooft, pemimpin redaksi De Locomotief, secara sadar dan penuh keyakinan menyatakan harus mendukung kebijakan itu. Yang terjadi adalah De Locomotief kehilangan sebagian besar pelanggan dalam beberapa bulan.
Tidak ada cerita bagaimana sikap Bataviaasch Nieuwsblad, koran terbitan Batavia yang memiliki sejumlah nama besar di industri pers saat itu; Ernest Douwes Dekker, Tjalie Robinson, Karel Zaalberg, dan Dominique Willem Berretty — orang terkaya di Hindia-Belanda yang mendirikan kantor berita ANETA.