Ketika Media Kehilangan Pengiklan dan Pelanggan Akibat Dukung Politik Etis

Sejarah  

Kemungkinannya adalah Bataviaasch Nieuwsblad mengikuti arus utama pers kulit putih di Hindia-Belanda, yaitu diam terhadap Politik Etis agar tidak kehilangan pelanggan dan iklan. Sikap itu tampaknya bertahan sampai Politik Etis berakhir akibat malaise, atau kejatuhan ekonomi global tahun 1930.

Ronald Frisart, dalam Ethische politiek in Indië móést wel stranden, juga hanya menyoroti dua koran penentang keras Politik Etis, yaitu Soerabaiasch Handelsblad dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië.

Redaksi Soerabaiasch Handelsblad dipimpin Mozes van Geuns. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië dikomandani Karel Wybrants, bapak pers modern Hindia-Belanda dan mahaguru bagi Raden Mas Tirto Adi Suryo — tokoh sentral empat novel karya Pramoedya Ananta Toer dan bapak pers Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kutipan luar biasa Soerabaiasch Handelsblad, yang menggambarkan penolakan keras terhadap Politik Etis, tertulis dalam edisi 18 Mei 1907. Berikut kutipannya;

“Kami tidak lebih antusias dibandingkan siapa pun mengenai metode ala Daendels (Gubernur Jenderal yang memerintah dengan tangan berat dari tahun 1807 hingga 1811, red.), namun kami menyatakan secara terbuka dan tanpa keraguan sedikit pun bahwa kami menganggap metode tersebut tidak terlalu tidak simpatik dibandingkan dengan metode yang ada saat ini. metode untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Timur yang bodoh, yang terbiasa bersikap tegas, yang menjadi sulit diatur dan kehilangan semangat jika mereka dibiarkan melakukan apa yang mereka inginkan. ( ) Seseorang ingin dapat mengalahkan orang tersebut dengan cambuk yang panjang untuk mengajari mereka ketertiban dan disiplin.”

Penolakan terhadap Politik Etis dan penghinaan terhadap pribumi diperlihatkan secara kasar dalam tulisannya di Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tahun 1915. Berikut kutipannya;

“Penduduk asli adalah kusir yang buruk dan kejam, pekerja yang ceroboh, petani yang keras kepala dan terbelakang, pengawas yang malas, bawahan yang acuh tak acuh, tuan yang keras. Dia percaya takhayul, tidak bisa diandalkan, tidak jujur, bodoh, lalai, kekanak-kanakan, lalim, budak.”

Dalam paragraf lain tulisannya, Wybrants seolah menyampaikan pesan keras kepada De Locomotief yang mendukung Politik Etis;

“Kami adalah tuan dan kami akan tetap demikian, selama pola pikir etis Anda dan rekan Anda tidak berlaku!”

Pernyataan lebih keras disampaikan WS van Haastert, rekan Wybrants, pada tahun yang sama. Menurutnya; “Penduduk asli memang harus ‘diangkat’, sebagaimana para ahli etika menyebutnya, tetapi hanya ‘sampai setinggi tiang gantungan.”

Situasi ini bukan tanpa perhatian pemerintah Kerajaan Belanda. Kabinet Belanda merespon dengan meminta Ratu Wilhelmina menyerukan toleransi dalam bidang agama dan saling menghargai ras dalam pidato takhta 1913.

Penulis Jozua Schaap, dalam Java Bode edisi 22 September 1917, menulis; “Penghinaan bersemangat terhadap penduduk asli itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan dimuat di majalah-majalah pribumi. Hinaan-hinaan itu memiliki dampak lebih mendalam terhadap penduduk dibanding bahasa revolusioner yang diucapkan salah satu rekan mereka. Tanpa sengaja, surat kabar reaksioner itu membantu mengobarkan sentimen nasionalis dengan tulisan-tulisan mereka yang berisi kemarahan terhadap Politik Etis.”

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image