Drama Politik Tanpa Skrip di Akhir Orde Lama: Memperingati Tritura dan Mengenang Idealisme Media
Oleh. A Makmur Makka, Mantan Pimred Republika.
Ruangan itu tidak seberapa luas, terletak pada sebuah bangunan antik bertingkat dua pusat perbelanjaan Jalan Braga Bandung.
Terkesan tempat itu biasa-biasa saja, tidak ada kesibukan berarti tiap hari. Dari luar terdengar kesibukan Jalan Braga dan bunyi klakson yang bergema.
Ruangan yang hanya beberapa meter persegi itu adalah kantor redaksi Mingguan Mimbar Demokrasi. Sebuah media yang dikelola oleh sekelompok mahasiswa yang umur mereka sekitar sembilan belas sampai dua puluh tahunan.
Baca juga: Mahasiswa dan Politik: Berkaca Pada Normalisasi Kehidupan Kampus 1978
Dari ruangan yang sederhana inilah dikeluarkan sejumlah gagasan perlawanan dan koreksi kepada dua rezim melalui media pers anak-anak muda. Ini semua terjadi hampir enam puluh tahun yang lalu.
Awalnya adalah sebuah gerakan moral para mahasiswa yang dilakukan untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan, kultus individu, persekongkolan politik penguasa.
Mereka bersatu dalam kesatuan aksi mahasiswa (KAMI) dan pelajar (KAPPI)
Tapi, pemerintah justru mencurigai gerakan tersebut dan kemudian sejumlah tokoh KAMI dan juga Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) ditangkap. Kemudian gugurlah sejumlah martir mahasiswa dan pelajar di berbagai tempat.