DPD-RI dari PRRi hingga Reformasi: Ke Mana Nasib Otonomi Daerah dan Virus Negara Federal?

Politik  

*PRRI, Permesta, dan Dewan Perjuangan*

JIKA hendak mengusut aal-usul lahirnya DPD RI, mau tidak mau kita akan tiba pada pergolakan daerah pada pertengahan 1950-an.

Pembentukan Divisi Banteng,menggantian Dewan Banteng di Sumatera Barat, sekaligus sekaligus merupakan embrio bagi dideklarasikannya PRRI. Sementara dari bagian Timur indonesia Piagam Permesta terang-terangan menuntut Pemerintah volusionsr Sementara daro Timur Indonesia, piagam Perjuangan Semesta (Permesta) terang-terangan menuntut agar:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

(1) Sistem sentralisasi yang korup, birokratis, dan stagnan dalam membangun daerah dihapuskan.

(2) Sistem desentralisasi harus bermuara pada pemberian otonomi yang luas kepada daerah.

(3). 70 % Anggota Dewan Nasional harus terdiri dari wakil-wakil daerah otonom yang diberi status Majelis tinggi (Senat) di samping DPR ( parlemen).

Dengan amandemen kedua UUD 1945, terutama pada Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18, tuntutan utama Dewan Banteng, Permesta, dan Dewan Perjuangan yakni otonomi seluas-,luasnya, masuk ke dalam konstitusi dan muldi diwujudkan." (Raymond Mawikere, 2012:173).

Apakah dengan demikian persoalan otonomi daerah sudah selesai? Ternyata belum! Yang belum selesai ialah menciptakan harmoni dan kesatuladuan antara pusat dengan daerah.

Paradigma *pembangunan nasional sebagai totalitas pembangunan daerah* belum dihayati oleh elite negeri ini baik di pusat maupun daerah KehadiranDPD pun masih disikapi separuh hati. DPD masih "dicurigai mengidap virus negara federal." Segera sesudah DPD masuk ke dalam Konstitusi,

pada 7 November 2001, 207 Anggota MPRRI menandatangani *Sikap Politik menolak masuknya Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem dan Struktur Kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia*

Para penandatangan menganggap usaha memasukkan DPD ke dalam sistem dan struktur Kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur oleh UUD 1945 yang hanya mengenal _monokameral_.

Sikap politik anggota MPR lintas fraksi itu mau tidak mau berdampak pada eksistensi DPD RI yang selanjutnya tidak ubahnya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Plat Merah yang dari hari ke hari hanya sibuk menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) untuk diajukan kepada DPR. Jika DPR berbaik hati menerima RUU dari DPD, RUU itu akan dibahas. Jika tidak, RUU itu hanya akan dimasukkan ke laci atau dibuang ke tempat sampah. Dan itulah yang terjadi sejak DPD berdiri.

Salahkah DPR bersikap seperti itu?

Bisa ya, bisa juga tidak. Sebab Pasal 20 UUD menyatakan:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang

.(2) Tiap-tiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image