Budaya

Dari Sirna Ilang Kertaning Bumi Hingga No Time to Think: Akankah Umat Islam Terendam Banjir Informas

Gambaran manusia yang serba terburu-buru karena terjadi perubahan cara komunikasi yang dahsyat: no time of think!

Oleh: Muhammad Subarkah, Penulis dan jurnalis senior.

Bila di akhir masa Majapahit atau menjelang munculnya Kesultanan Islam Demak, muncul ‘Candra Sengkala’ (Penanda Zaman) berbahasa Jawa Kuna, Sirna Ilang Kertaning Bumi (Hilangnya Kesejahteraan Dunia). Penanda ini menjadi titik awal perubahan zaman yang dahysat di Nusantara. Imperium Majapahit yang eksis semenjak 10 November 1293 M kala sengkala ini dibuat pamornya perlahan sirna. Peradaban dan kekuasaan baru muncul. Kesultanan Demak Bintoro perlahan naik menggantikannya.

Bila dilihat sengkala itu memang sebuah penanda komunikasi yang sederhana. Kalimatnya memang seperti larik liris bait puisi elegi romantis. Penuh ekpresi cinta platonis yang meratap- rapat. Di sana ada kesedihan yakni dengan dipakainya karta ‘sirna’ yang berati tiada. Pilihan kata ini pada saat yang sama tersambung dengan sebuah tragedi, yakni hilangnya kesejahteraan dunia (ilaning kertaning bumi).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Hal itu semakin bermakna sebagai ‘luka-lara’ dari sebuah era. Apalagi bila kemudian memahami makna lain dari kalimat tersebut. Dalam khazanah budaya Jawa sengkala itu ternyata identik dengan sebuah angka yang menunjukkan tahun saka: Sirna berarti 0, ilang berati 0, kerta berarti 4, dan bumi itu bermakna 1. Maka kalau angka-angka tersebut digabung dan dibalik maka akan menunjukkan bilangan 1400, yakni angka tahun 1400 Saka. Bila kemudian dipandankan dengan tahun Masehi, maka angka ini menunjuk kepada tahun 1478.

Candra Sengkala atau sengkala ‘sirna ilang kertaning bumi’ inilah yang disebut menjadi penanda besar perubahan zaman, yakni runtuhnya Majapahit yang prosesnya terjadi secara perlahan tapi pasti. Kejatuhannya makin cepat karena di kerajaaan saat itu terjadi perang saudara yang dahysat dan melelahkan, yakni perang Paregreg. Akhirnya, pada dekade pertama abad ke-16, Majapahit kemudian benar-benar menghilang. Pamor kekuasaan digantikan dengan anak lelaki Raja Majapahit terakhir dari ibu yang merupakan putri dari Tiongkok, Raden Fatah.

Selarik kalimat pada sengkala itu kini benar terbukti sebagai jejak komunikasi berakhirnya sebuah peradaban. Setidaknya sengkala ini dalam komunikasi mempunyai makna refesensial, yakni makna yang menunjukkan referensi atau acuan suatu kata pada kondisi di kenyataan, yakni penghujung kekuasaan Majapahit.

Pada hari-hari terakhir ini dalam dunia komunikasi, sengkala ‘Sirna Ilang Kertaning Bumi’ juga berarti menjadi sandi atau pesan penada berakhirnya sebuah era. Memang bukan dikaitan dengan angka tahun, namun lebih dilekatkan pada esensi perubahan media sebagai sarana berkomunikasi manusia. Kala itu bertepatan akhir masa peradaban Siwa-Budha di Jawa berganti menjadi era peradaban Islam. Salah satu yang muncul setelah era Majaphit berpindah ke Demak adalah munculnya penggunaan alat komunikasi bedug sebagai sarana penanda datangnya waktu shalat. Padahal sebelumnya bedug adalah benda tetabuhan yang berasal dari peradaban Tiongkok.