Telanjang dan Kefanaan Dunia: Luka Memar Bonyok Hingga Rasa Malu

Agama  

Penelanjangan paksa yang memperlihatkan aurat biasanya dilakukan masyarakat terhadap pelaku kejahatan kelas teri, bukan bandit berdasi dengan parfum wangi. Seorang pencuri motor di Cakung di awal Januari, atau dua warga Garut penggasak tromol uang jamaah yang tertangkap basah, selain dipermak oleh warga yang murka juga ditelanjangi sebagai bagian efek jera.

Mengapa warga negeri gemah ripah loh jinawi yang terkenal lemah lembut, ramah dan santun bisa mendadak angkara dalam sekedipan mata? Muasalnya terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku. Jika massa melihat keadilan tak pernah berpihak kepada yang lemah, atau proses penegakan hukum hanya formalitas yang bertele-tele, tebang pilih dan berat sebelah, akan membuat mereka lampiaskan aksi massa penghakiman sebagai cara protes terbuka untuk menunjukkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum yang tak ditegakkan secara adil dan transparan.

Mengapa korban harus ditelanjangi? Apakah dibuat babak belur saja tidak cukup? Jika kita teroka dengan pendekatan sosiologis-antropologis, hal ini berkaitan dengan pemaknaan konsep “malu” sebagai variabel kontrol dalam menimbang pengaruh sebuah tindakan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Luka bonyok akibat babak belur bisa sembuh dalam hitungan pekan, membuat mereka yang bermental begal-begundal sejati bisa kembali menjalankan aksi lancungnya lagi dan lagi. Tetapi dengan memberi pelajaran tentang pentingnya “ke-malu-an”, ada pesan gamblang dari sebuah aksi massa yang meradang agar pelaku tak mengulangi lagi kriminalitasnya di masa depan karena sudah “diper-malu-kan”. Sebuah rekam jejak yang akan hidup pada ingatan kolektif massa dan anak keturunan pelaku kejahatan. Penelanjangan menjadi instrumen penting pembelajaran.

Di sinilah pentingnya sensitivitas rasa “malu” sebagai jaring-jaring pengaman perbuatan manusia, sehingga Nabi Muhammad s.a.w. ( peace be upon him) dengan jelas mengingatkan, “Jika kamu tidak punya malu, maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR Bukhari).

Itu berarti semakin tinggi kadar dan kualitas rasa malu seseorang, akan semakin hati-hati dan seksama dirinya dalam berucap dan bersikap. Sebaliknya, kian rendah dan tipis rasa malu yang dimiliki, kian besar juga rem blong dalam jiwa-tanpa-malunya dalam melakukan ucapan lisan dan aktivitas perbuatan yang menyakiti hati.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image