Telanjang dan Kefanaan Dunia: Luka Memar Bonyok Hingga Rasa Malu

Agama  

Apa pentingnya membahas telanjang dan ketelanjangan di bulan suci? Apakah justru tidak mencederai pahala berpuasa? Tergantung cara melihatnya.

Senyampang hari ini memasuki 10 Ramadan, hari terakhir dari fase pertama yang penuh rahmat sebelum masuk fase kedua, selama sepuluh hari berikutnya yang penuh pengampunan ( maghfirah), memahami ketelanjangan spiritualitas diri sendiri di hadapan Allah Yang Maha Melihat justru akan menjadi gerbang awal memasuki Taman Ihsan (ihsan adalah kondisi di mana “seakan-akan dirimu melihat-Nya, namun jika kau tak bisa melihat-Nya yakinlah bahwa Dia selalu melihatmu.”)

Seluruh busana fisik yang membungkus tubuh—titel pendidikan, pangkat militer, status kepegawaian, citra ketokohan, dan sebagainya—hanya bisa dipamerkan kepada sesama manusia tetapi tidak membungkus sempurna ketelanjangan hakikat seorang hamba yang bergelimang aib dan dosa di mata Allah Azza wa Jalla.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mereka yang sadar dirinya sedang--dan selalu--telanjang di depan Zat Mulia Maha Pencipta, akan memilih sibukkan diri membasuh lidah yang kerap salah ucap, dengan mendaras ayat-ayat suci ilahi sesering mungkin dengan abaikan lelah dan godaan malas.

Mereka yang paham dirinya telanjang dalam puncak gunung dosa akan meningkatkan kekhusyukan pada setiap ibadah wajib dan memperbanyak ibadah sunnah agar menjadi anak-anak tangga yang terhampar menuju keluasan langit bertabur rahmat.

Mereka yang mengerti dirinya telanjang dalam gelombang samudera egoisme dan ketamakan, di bulan ini mendapat kesempatan istimewa mengikis keserakahan dengan mencontoh perilaku Nabi yang melakukan ‘kedermawanan lebih cepat dari tiupan angin ( ajwadu bil khair min rihil mursalat)”.

Maka, sejauh mana ketelanjangan diri kita membuat Ramadan--yang sudah berlalu sepertiga—akan memberikan sebesar-sebesar manfaat dan sebanyak-banyak maslahat?

“ Iqra’ kitabaka,” bunyi firman Allah di QS 17:14. Bacalah kitab(diri)mu.

Tak perlu sibuk telanjangi dan habiskan waktu bicarakan ketelanjangan orang lain. Perhatikan ketelanjangan diri kita sendiri untuk secepatnya diperbaiki, mumpung Allah masih izinkan ruh bersemayam di dalam tubuh kita yang rapuh.

11.04.22

@akmalbasral

Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena. Karya terbaru Serangkai Makna di Mihrab Ulama tentang kisah hidup Buya HAMKA bisa diperoleh dari www.bukurepublika.id atau akun medsos penerbit @bukurepublika lainnya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image