Imaji Kekuasaan Jawa: Ada Geger Sorak dan Nunggang Macan

Budaya  

Lagi pula, apakah kalau pada kurun 'alaf' pertama Masehi tersebut di Jawa juga tidak ada ekploatasi manusia karena ada kekuasaan yang eksis? Jawab nanti dahulu. Sebab, beberapa tahun silam ada tulisan ada buku yang ditulis dari ‘Romo’ Greg Sutomo terbitan Kanisius Yogyakarta mengenai soal apa yang sebenarnya terjadi di balik berbagai bangunan yang menjadi karya dunia seperti Piramida, tembok Cina hingga Taj Mahal.

Dia mengatakan di balik pendirian bangunan itu pasti ada tangan kekuasaan yang besar. Dan di sana pasti ada cerita sedih tentang penderitaan rakyat biasa yang dipaksa untuk melayani kehendak kekuasaan.

Kisah hubungan antara rakyat dengan kekuasaan yang tengah eksis ini, menurut 'Romo Tomo', juga ditandai dengan adanya sistem irigasi pertanian yang teratur. "Kalau ada sistem irigasi maka di situ ada kekuasaan yang eksis'.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Maka dari sinilah juga dipikirkan ketika ada atau ditemukan sebuah peninggalan adiluhung di Jawa, maka di sana pasti ada kekuasaan sekaligus juga ada rintihan penderitaan rakyat. Di sini juga selalu ada jejak samar mengenai penggunaan agama dalam politik kekuasaan.

Berburu macan di Jawa tempo dulu.
Berburu macan di Jawa tempo dulu.

Dahulu di Mesir kuno, di Cina, atau era kerajaan Moghul di India pun begitu. Di sanalah tercium kisah rakyat yang dikerahkan untuk membangun benda ajaib tersebut sudah lama terdengar. Alhasil, hal sama juga diyakini misalnya kemudian dalam memahami proses pembangunan candi Borobudhur yang butuh memakan waktu lebih dari 10 tahun. Di sini di yakini juga adanya jejak pengerahan tenaga manusia secara masif.

Nah, setelah era berdirinya kerajaan Airlangga itu kisah perguliran kekuasaan di Jawa semakin terang. Kekuasaan memang selalu ganti berganti. Dan sedihnya, darah dan darah terus terumpah setiap kalinya. Perang dan perang terus terjadi, bahkan antarkeluarga sekalipun.

Lihat saja pada kisah berdiri Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam. Melalui buku yang ditulis secara serial oleh sejarawan Belanda ‘De Graaf’ (menulis tentang bangkit, puncak, dan surutnya kekuasaan Mataram Islam) situsasi kekerasan dan konflik terasa sangat jelas. Tikam menikam keris dan senjata sudah berupa kelaziman.

Bahkan, para ahli sejarah Belanda lain ada yang sampai hati mengatakan para penguasa di Jawa dahulu sebenarnya hanya keturunan sekelompok orang layaknya kepala gang bandit. Mereka tampaknya berkata begitu karena menyusuri alur sejarah perguliran kekuasaan di pulau beras ‘Jawa Dwipa’ yang memang berdarah darah ini.

Jejak pergantian kekuasaan di Jawa pasca-Demak hingga beralih ke Mataram Islam tersaji dengan yahud melalui fiksi legendaris 'Api Di Bukit Menoreh' kaya SH Mintardja. Serial bersambung yang dahulu terbit dalam sebuah koran dan cetakan stensilan buku tipis, dianggap sebagai fiksi terbaik yang menceritakan sepenggal episode pergantian kekuasaan di Jawa. Fiksi ini memang mampu merangsang imajinasi, dan fiksi ternyata beda dengan selama ini khalayak awam pahami sebagai hal yang fiktif atau palsu.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image