NII dan Teorisme: Sebilah Golok Untuk Kudeta

Agama  
Pengibaran bendera NII. (Istimewa).
Pengibaran bendera NII. (Istimewa).

Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog dan Penulis

HARI ini sebulan lalu—25 Maret 2022—Tim Detasemen Khusus Antiteror Polri (Densus 88) mencokok 16 terduga teroris di Sumatra Barat. Mereka diduga berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII), kelompok yang didirikan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo melalui gerakan Darul Islam (1949-1962).

“Ada upaya melengserkan pemerintah yang berdaulat sebelum tahun 2024,” ungkap Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Aswin Siregar. “Terdapat juga potensi ancaman serangan teror dengan mempersiapkan senjata tajam ... dengan temuan barang bukti sebilah golok panjang milik salah seorang tersangka,” lanjutnya. (CNNIndonesia.com, “Densus 88 Ungkap NII Sumbar Siapkan Golok Untuk Lengserkan Pemerintah”, 18 April 2022).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ke-16 terduga teroris itu masing-masing dua orang di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Payakumbuh, serta 12 lainnya diringkus di Kabupaten Dharmasraya. Kabar yang mengagetkan dan terus menggelinding kencang sampai sekarang kontan menenggelamkan berita positif dan mengharukan empat bulan sebelumnya tentang ‘persaudaraan satu ton rendang’. Ketika itu, Desember 2021, amai-amai (emak-emak) warga Dharmasraya memasak satu ton rendang untuk para pengungsi erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.

Kuliner khas Minang yang pernah ditabalkan CNN sebagai makanan terlezat di dunia itu kemudian dikirimkan Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan. “Semoga bisa meringankan penderitaan saudara-saudara kita di Lumajang dan kegiatan marandang (membuat rendang) ini menjadi tradisi untuk kami salurkan kepada saudara-saudara kita lainnya yang terkena musibah di seluruh Indonesia,” katanya. Luar biasa!

Berita penangkapan terduga teroris itu pun mengandaskan prestasi hebat Dharmasraya lainnya yang mereka capai setengah tahun lalu sebagai kabupaten terbaik di Sumatra Barat untuk kesuksesan pencapaian vaksin keluarga menurut penilaian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. ( Indosiar, 25 Oktober 2021). Ini bukan prestasi kecil karena Sumatra Barat terdiri dari 19 kabupaten/kota, termasuk nama-nama kabupaten dan kota yang lebih populer seperti Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman. Kota Bukittinggi atau Kota Padang sebagai ibu kota. Semua dilibas Dharmasraya.

Singkatnya, ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, maka kabar penangkapan ini berpotensi menggiring pemahaman publik tentang Dharmasraya—dan Sumatra Barat dalam skala provinsi—sebagai ‘gudang teroris’. Apalagi menurut Densus 88 Antiteror mendata ada 1.125 orang terduga teroris anggota NII di seluruh provinsi itu dengan 400 orang di antaranya adalah anggota aktif.

Arkian, terbongkarnya jaringan NII di Sumatra Barat berawal dari penangkapan lima orang terduga teroris di Bali yang terjadi lebih dulu. Kelima orang itulah yang ‘bernyanyi’ tentang NII Sumatra Barat. Densus 88 menggunakan informasi para terduga teroris ini untuk mengembangkan penelusuran lanjutan. Tak sampai 10 hari kemudian mereka mencokok lima tersangka teroris lainnya di Tangerang Selatan, Banten. Ini menambah luas jaringan NII yang terdeteksi selain di Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi dan Maluku.

Kembali pada 16 terduga teroris di Sumatra Barat yang diyakini Densus 88 akan melengserkan pemerintah, pengamat terorisme Al Chaidar Puteh berpendapat sebaliknya. “NII Sumatra Barat tidak ingin mengkudeta atau melengserkan pemerintahan yang sah karena anggota NII bukan orang internal dari Republik Indonesia. Mereka tidak menyusup ke TNI, Polri, Kejaksaan, atau anggota legislatif. Juga tidak menyusup ke partai politik,” ujar dosen Universitas Malikussaleh, Aceh, itu kepada Tirto.id, 20 April 2022.

Lebih jauh lagi, Chaidar tak yakin bahwa ke-16 orang itu adalah anggota NII asli. “Saya khawatir yang ditangkap di Dharmasraya dan Tanah Datar itu adalah NII palsu. Kalau NII asli, mereka pasti akan merebut kekuasaan dengan cara revolusi seperti Taliban,” katanya.

Barangkali yang ingin disampaikan Chaidar adalah bahwa motif pelengseran kekuasaan hanya masuk akal jika ditemukan senjata-senjata berat yang mampu menandingi kekuatan militer negara, bukan hanya dari “sebuah golok panjang”.

Chaidar pun menguraikan perbedaan bendera yang digunakan NII asli dengan bendera (terduga teroris) yang agak berbeda, tak sesuai dengan Pedoman Darma Bakti Negara Indonesia yang merupakan ‘buku putih’ NII. Perbedaan selanjutnya menurut alumnus Jurusan Antropologi Universitas Indonesia ini adalah cara perekrutan NII Sumatra Barat yang terdiri dari empat tahap sementara perekrutan NII asli hanya tiga tahap. “Mungkin mereka anggota Komandemen Wilayah (KW) 9 atau Zenzen Komara. Kedua faksi ini bagi anggota NII asli dilihat sebagai NII palsu,” papar Al Chaidar.

Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut tentang soal ini, saya ingin mengembalikan topik SKEMA [Sketsa Ramadhan] bingkai sosiologis yang lebih mendasar tentang apa itu terorisme? Apa bedanya tindak pidana terorisme dengan pembunuhan? Mengapa seseorang bisa menjadi teroris.

Kata terorisme menyeruak dalam ingar-bingar Revolusi Prancis (1789-1799) ketika Klub Jacobin ( Société des amis de la Constitution)—kubu politik terkenal dan paling kuat saat itu--menerapkan rangkaian aksi kekerasan yang disebut filsuf Inggris Edmund Burke sebagai ‘régime de la terreur’ (‘pemerintahan teror’) yang berlangsung selama 11 bulan yang mencekam (September 1793-Juli 1794). Siapa saja rakyat Prancis yang tak mendukung revolusi akan dipancung leher mereka mereka dengan pisau Guillotine.

Jumlah korban jiwa selama Pemerintahan Teror diprediksi antara 18.500-40.000 orang. Termasuk Raja Prancis Louis XVI, Ratu Marie Antoinette dan Bapak Kimia Modern Antoine-Laurent de Lavoisier. (Dua puluh tahun sebelum kematiannya, Lavoisier memberi nama zat asam sebagai oksigen yang diambilnya dari gabungan dua kata Yunani yakni oxus atau ‘asam’ dan gennan atau ‘menghasilkan’).

Ketika keadaan berbalik, salah seorang tokoh utama Klub Jacobin dan pengendali ‘pemerintahan teror’ bernama Maximilien Robespierre pun menjalani akhir nasib yang sama saat kepala berpisah dari badannya akibat hunjaman mata pisau Guillotine. Dengan menggunakan istilah sekarang, yang terjadi kala itu adalah tindakan ‘ state terrorism’. Sejak itu kata terreur (Inggris: terror) mendunia dan dinisbatkan untuk aksi-(aksi) kekerasan yang bukan tindak kriminal biasa melainkan punya tujuan lebih spesifik.

Teror berbeda dengan pembunuhan karena target korban dipilih secara acak, sedangkan pembunuhan umumnya sudah mengincar target korban tertentu dengan berbagai alasan.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image