NII dan Teorisme: Sebilah Golok Untuk Kudeta

Agama  

Kembali pada kisah penangkapan para terduga teroris NII di sejumlah tempat di tanah air, dua hari lalu (Sabtu, 23/4) sebanyak 25 orang anggota NII melakukan pelepasan baiat (bersumpah) kepada NII dan melakukan ikrar sumpah setia kepada Indonesia di Aula Polresta, Denpasar, Bali. “Mereka menyadari bahwa organisasi NII adalah organisasi terlarang. Pelepasan baiat mereka tidak ada paksaan dari unsur manapun selain atas kesadaran mereka sendiri yang ingin hidup beragama dan bermasyarakat yang lebih baik dan lebih patut kepada NKRI,” ujar Kombes Aswin Siregar. Usai acara, Kasatgaswil Densus 88 Bali, Kombes I Ketut Widhiarto, memberikan parsel lebaran kepada 25 eks-NII itu.

Sementara di Padang, Gubernur Mahyeldi Ansharullah meminta setiap pemudik yang masuk ke Sumatra Barat untuk melapor. “Kepala daerah sampai tingkat RT harus mengawasi semua tamu yang berada di wilayah,” katanya, Minggu (24/4). Meski begitu, Mahyeldi mengimbau agar kepolisian menginformasikan lebih jelas masalah ini ke masyarakat agar tidak bias. “Sumatra Barat bukan pusat NII. Pernyataan polisi bahwa mereka yang ditangkap ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak masuk akal. Apalagi senjata yang dijadikan bukti hanya golok. Saya menyayangkan akhir-akhir ini banyak berita dan informasi yang menjustifikasi Sumbar sebagai daerah yang intoleran,” katanya.

Kerisauan Mahyeldi beralasan karena Sumbar bukan daerah pusat NII atau wilayah intoleran. Bukti paling gamblang adalah ketika Presiden Jokowi mengunjungi Dharmasraya—lokasi penangkapan 12 dari 16 terduga teroris--sebagai lokasi pertama kunjungannya di Sumatra Barat pada Februari 2018. Warga menyemut di pinggir jalan, dari para siswa yang berseragam sekolah, sampai masyarakat umum yang mengelu-elukan. (lihat rekaman video di akun YouTube Topikini, “Presiden Jokowi di Dharmasraya, Sambutan Warga di Luar Dugaan,” 7 Februari 2018).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Agak sulit memang membayangkan bagaimana hanya dalam empat tahun antusiasme warga Dharmasraya yang begitu gembira dikunjungi presiden mereka mendadak bisa disusupi 12 warga yang “ingin melengserkan presiden”, seperti sinyalemen Polri.

Yang kedua menyangkut barang bukti golok. Cuplikan kisah sejarah terorisme yang saya sampaikan di atas menunjukkan senjata para teroris sejak di awal kemunculan mereka justru sudah canggih seperti pisau Guillotine (yang bahkan belum ada duanya sampai sekarang tiga abad kemudian), atau persenjataan teroris yang jauh lebih modern seperti gas sarin, bom mobil, senjata semiotomatis Ruger Mini-14 atau Mossberg 930.

Mungkin itu juga sebabnya mengapa mayoritas sentimen warganet sangat skeptis ihwal penjelasan Polri “golok sebagai barang bukti rencana pelengseran pemerintah” karena sangat tidak cocok dengan kondisi era digital di milenium ketiga kecuali pada tjersil (cerita silat) di mana ada pendekar golok super sakti Thian Kiam Coat To yang bisa mengobrak-abrik satu tempat dan membuat sebuah revolusi.

Waspada atas kemungkinan bangkitnya aktivitas anggota NII tetap harus dilakukan. Namun konstruksi narasi yang mencerdaskan publik juga mutlak dijaga agar masyarakat waspada secara proporsional, tidak menganggap sebagai narasi fiktif yang sengaja dibuat untuk mengalihkan perhatian dari segunung problem kemasyarakatan lainnya yang lebih nyata, lebih besar, dan lebih urgen untuk dipecahkan secepatnya ketimbang episode kisah “Sebilah Golok Untuk Kudeta” yang kini berkembang menjadi bola panas dan liar.

25.04.22

(23 Ramadhan 1443 H)

@akmalbasral

Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena. Penulis Napoleon dari Tanah Rencong: Novelisasi Perjuangan Hasan Saleh (Gramedia Pustaka Utama, 2013), kisah DI/TII Aceh dengan Wali Negara Tgk Daud Beureueh dan Panglima/Menteri Urusan Perang Hasan Saleh.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image