Try Soetrisno: Dari Pangdam Jaya, Wapres, Hingga Kenangan Rhoma Irama Atas Tragedi Tanjung Priok

Sejarah  

Bagi pemerhati sejarah umat Islam, Beggy Rizkiansyah, sudah lama membahas soal tragedi Tanjung Priok yang terjadi berkaitan dengan bentrok atau perbedaan sikap umat Islam di dalam menerima Pancasila sebagai satu-satu asas dalam bernegara. Beggy menulis begini:

Tanjung Priok adalah salah satu wilayah dengan pemukiman padat di Jakarta, menjadi saksi kekejian rezim orde Baru terhadap umat Islam. Awal mula kejadian ini, ketika tanggal 8 September 1984, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa), bernama Hermanu, memasuki Mushola As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Menurut kesaksian masyarakat ia masuk masjid tanpa melepas sepatu (meski Hermanu sendiri kelak membantahnya). Di sana, ia keberatan dengan sebuah pamflet yang tertempel di dinding yang menurutnya mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Padahal pamflettersebut hanya pengumuman pengajian rutin biasa. Menurut Hermanu, ia kemudian memakai air selokan yang hitam itu untuk melepas pamflet yang melekat dengan kuat di papan pengumuman. Namun menurut kesaksian ia menyiram pamflet tersebut dengan air selokan.

Keesokan harinya, kejadian di mushola tersebut menjadi pembicaraan warga. Namun tak ada penyelesaian dari aparat terhadap masalah ini. Tanggal 10 September 1984, Hermanu dan rekannya, diketahui keberadaannya oleh jemaah As-Sa’adah, yaitu Syarifudin Rambe dan Syofwan. Kemudian terjadi perdebatan diantara mereka. Mereka kemudian melakukan pembicaraan di Pos RW 05. Ketika pembicaraan tengah berlangsung, tiba-tiba massa di luar sudah ramai.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut Hermanu, saat itu, massa berusaha menyerang dirinya. Namun karena tak dapat menggapai dirinya, massa di luar yang tak terkait dengan masalah ini kemudian merusak dan membakar sepeda motor Koramil. Anggota Polres kemudian datang dan menangkap empat orang, yaitu Syofwan, Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi dan Mohammad Noor, yang dituduh membakar motor tersebut. Mohammad Noor sendiri membantah telah membakar motor tersebut, ia mengaku hanya memukul motor tersebut.[6] Anehnya, aksi-aksi provokatif Hermanu malah tidak ditindaklanjuti oleh aparat.

Tanggal 11 September, warga meminta tokoh masyarakat setempat, Amir Biki untuk meminta aparat membebaskan keempat orang yang ditangkap. Amir Biki, muslim yang taat, dan ditokohkan oleh masyarakat Tanjung Priok, memang menjadi orang yang biasa berhubungan dengan pihak militer (pemerintah). Amir Biki juga mengenal H.M.A. Sampurna, yaitu Asintel (Asisten Intel) Kodam Jaya. H.M.A. Sampurna mengaku dihubungi Amir Biki untuk membebaskan keempat orang tersebut yang ditahan di Polres atau Kodim. Namun permintaan tersebut ditampik oleh H.M.A. Sampurna.

Tanggal 12 September, sebuah pengajian besar, yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari diadakan di Jalan Sindang, lorong 102. Pengajian itu sendiri memang dihadiri oleh Amir Biki, namun ia bukan orang yang direncanakan untuk berceramah di pengajian tersebut, karena Amir Biki memang bukan mubaligh. Pengajian tersebut diisi oleh beberapa ustadz, yaitu, Syarifin Maloko, Salim Kadar, M Nasir (bukan M. Natsir tokoh Masyumi dan DDII), dan Ratono.

Acara pengajian yang dimulai pukul 20.00 itu kemudian berujung memanas. Masyarakat yang masih tak puas dengan penyelesaian kejadian di As-Sa’adah. Pukul 22.30, Amir Biki kemudian didaulat untuk berbicara di atas panggung.Di depan jama’ah yang berjumlah ribuan, Amir Biki mengajak jama’ah untuk menuntut pembebasan keempat orang yang ditangkap. Ia kemudian berkata,

“Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!” Perkataan Amir Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, “Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan jamaah kita,” serunya.[9]

Ia kemudian memimpin massa untuk menuju ke Kodim. Namun tujuannya bukan untuk melawan aparat, apalagi memberontak. Amir Biki mengatakan pada kawannya Husain Safe saat itu, ketika Husein menolak ikut jika tujuan mereka untuk memberontak. “Bukan untuk itu, dan saya minta jangan ada yang melawan aparat karena itu bukan tujuan kita!”, tegas Amir Biki.[

Massa pun bergerak menuju Kodim. Di jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan. Namun belum sampai Kodim, persis di depan gerja di samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat tentara, yang jumlahnya tak banyak saat itu, hanya belasan orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak untuk maju oleh massa yang ada di belakang. Saat rombongan yang berada di depan barisan berusaha menahan massa untuk berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Massa pun panik, berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.Orang-orang bertumbangan, berteriak, Allaahu Akbar-Allaahu Akbar menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut,

“Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat-aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, “Habisi saja!!”

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image