Try Soetrisno: Dari Pangdam Jaya, Wapres, Hingga Kenangan Rhoma Irama Atas Tragedi Tanjung Priok

Sejarah  

Umat Islam, beserta para tokoh masyarakat mengecam peristiwa tersebut. Para tokoh Islam seperti Syafrudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar Harjono, AM Fatwa hingga tokoh nasional seperti Hoegeng, Ali Sadikin, HR Dharsono menandatangani Lembar Putih 22 yang berisi keprihatinan tentang pernyataan sepihak dari pemerintah. Lembar Putih 22 juga mengeluarkan kronologis dan fakta berbeda dari versi pemerintah. Mereka menyebut keterangan sepihak pemerintah sebagai “musibah dalam musibah.”[15]

Peristiwa ini memang tak hanya musibah dalam musibah, tetapi juga musibah berlanjut musibah. Kekejian aparat rezim Orde Baru tak hanya puas dengan membantai umat Islam di lokasi tetapi dilanjutkan dengan penyiksaan terhadap orang-orang yang terluka. Selepas diobati seadanya di rumah sakit, mereka kemudian ditahan tanpa ada proses yang legal. Penangkapan-penangkapan juga berlanjut selepas tragedi tersebut. Baik yang benar-benar ada di lokasi saat kejadian ataupun orang yang tak tahu menahu tentang peristiwa tersebut. Mereka dipaksa untuk mengakui pernyataan palsu. Penyiksaan demi penyiksaan menjadi rmakanan sehari-hari para tahanan. Mereka diperlakukan lebih buruk daripada binatang. Syaiful Hadi salah seorang yang ditahan menceritakan kisah pilu yang mereka alami.

“Dalam tubuh tanpa dibalut pakaian itu, kami disiksa di atas kerikil tajam. Kami dipaksa berguling-guling di atas kerikil itu, sementara tentara memukuli dengan tongkat dan menendangi dengan sepatu lars. Dari mulut mereka terlontar hinaan yang menyakitkan. “Dasar PKI! Anak gerombolan GPK!” hardik mereka. Kami cuma mampu mengucap, “Allahu Akbar!” Namun setiap kami mengucap kalimat takbir itu, mereka selalu melontarkan ejekan yang amat menyakitkan hati. “Di sini tidak ada Tuhan,” bentak mereka. Astaghfirullah! Hati seperti berkeping-keping. Sementara tubuh saya dan teman-teman tak henti-hentinya mengeluarkan darah. Darah segar mengucur dari kepala sampai kaki.”[16]

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ada pula kisah yang amat pedih dialami Aminatun, salah seorang tahanan perempuan. Ia mengalami penyiksaan dan pelecehan di tahanan. Aminatun yang ditahan meninggalkan anak-anaknya, kemudian dipaksa menyaksikan kakak dan teman-temannya dipukuli, diestrum dan ditelanjangi di depan dirinya. Ia pun tak lepas dari penyiksaan. Oleh aparat perempuan, jilbabnya dirobek dan ia diancam akan ditelanjangi. Ia pun dilain kesempatan akhirnya ditelanjangi oleh dua aparat perempuan. Ia dipaksa untuk mengakui terlibat pengajian di Tanjung Priok.[17]

Puluhan orang ditangkap dan siksa aparat selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Orang-orang yang wafat menjadi korban tak pernah jelas dimana mereka dikuburkan? Banyak keluarga, ayah, ibu, anak mencari anggota keluarga mereka. Tak pernah ada kejelasan. Nasib keluarga mereka. Bahkan ada yang dianggap telah meninggal, namun ternyata kembali lagi, dengan cedera akibat penyiksaan sekian lama.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image