Politik

Belajar dari Arab Spring: Waspada Perpecahan yang DImulai dari Perang Media Sosial

Ilustrasi perang di media sosial'
Ilustrasi perang di media sosial'

Tidak ada perang di wilayah miskin dan bernilai stragis! Jawaban ini seakan menjadi hukum universal dunia.

Dan pernyataan ini pernah saya terima dalam perbincangan dengan seorang insinyur di meja kafe di Multan, sebuah kota kecil di Pakistan. Kota ini bersejarah. Penduduknya selalu bangga bahwa kota ini multi etnik, ada masjid dan ada juga gereja tua peninggalan Inggris yang dibangun di sana. Bila dilihat dalam hikayat Ramayana kota ini konon pernah disinggahi prajurit Rama Wijaya ketika berperang melawan Alengka.

Lelaki itu berkata dengan sangat yakin bahwa perang akan terus terjadi di daerah kaya.’’Semua orang akan berebut. Kalau tidak bisa menguasai secara langsung, bisa dilakukan dengan membentuk proxi. Bahkan mereka kalau bisa berkuasa tanpa perlu meletuskan satu pelurupun. Awesone (dahsyat memang, red) memang,’’ kata sambil meminum secangkir teh. Sore yang mulai meremang terasa kian membisu. Di jalanan terlihat lampu mulai menyala, meski di jalanan tampak lalu lintas masih ramai.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

‘’Ingat Pakistan itu berada di tengah. Di sana ada India, di Barat ada Suriah, di timur ada Cina, dan di utara ada Afghanistan dan Rusia. Kami sadar akan diperebutkan,’’ ujarnya lagi.

Pernyataan itu memang terus mengiang. Apalagi tak lama kemudian muncul apa yang disebut revolusi Arab Spring, yang dipicu oleh sebuah gambar dan berita viral di medsos tentang adanya seorang lelaki muda pengangguran di Tunisa yang bakar dirinya karena kesal pada hidupnya sendiri.

Semua tahu setelah itu banyak rezim di Afrika Utara, misalnya Libya dan Mesir rontok. Dan di Suriah, dan Irak muncul perang besar yang disebut dipicu oleh Isis. Yang terakhir di Turki muncul kudeta yang gagal kepada pemerintahan Erdogan.

Ketika merenungkan soal itu, tiba-tiba mata ini membaca tulisan usang di Washington Post tertanggal 21 Mei 2015. Isinya sangat mengejutkan. Bercerita tentang: Britain hid secret MI6 plan to break up Libya from US, Hillary Clinton told by confidant. Terjemahahan bebasnya: Inggris menyembunyikan rencana rahasia MI6 untuk memecah Libya dari AS, ini dikatakan orang kepercayaan Hillary Clinton.

Bila dirunut lagi, berita ini memang tidak mengejutkan bagi orang yang paham. Sudah lama beredar berita tentang itu. Media sosial ternyata bisa menjadi alat bagi kekuasaan dan kepentingan asing untuk menguasai sebuah negara. Mereka bisa berani dalam isu pemilu seperti sudah terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, meletuskan perang ‘riil’ yakni perang senjata di dunia nyata.