Belajar dari Arab Spring: Waspada Perpecahan yang DImulai dari Perang Media Sosial

Politik  

Di sini jelas muncul bahwa perang persepsi dan perpecahan di media sosial mendahului perang senjata yang riil dan penaklukan sebuah negara kepada negara lain. Pelajarannya, perpecahan di sebuah negara ternyata dinikmati sebagai sebuah ‘anugerah’ bagi negara lain.

Menyadari hal itu, kemudian ingatan kembali kepada forum disusi yang ada di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) beberapa tahun silam. Kala itu juga membahas mengenai budaya media sosial dan ancaman perpecahan sebuah negara.

Salah satu pembicara, yakni seorang budayawan, dengan jelas dan terang mengatakan media sosial lebih banyak mudharatnya dari pada sisi kebaikannya. Bahkan secara ekstrim dia mengatakan, bahkan kalau perlu dilarang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

‘’Kalau saya jadi pemimpin sebuah negeri saya akan persulit, bahkan larang media sosial. Media sosial tidak terbukti tak ada manfaatnya bagi bangsa. Media sosial karena berdiri di atas landasan hak pribadi dengan mengatasnamakan nilai kebebasan yang bersendikan kebebasan itu tak bisa dipakai alat untuk mencari kompromi. Sebab, kompromi itu sangat penting bagi negara. Beda dengan gerakan politik sejati yang berusaha mencari titik temu atau kesepakatan. Media sosial tak bisa dipakai sebagai alat untuk bersempakat karena masing-masing kepala punya sikapnya sendiri-sendiri,’’ katanya.

Sama dengan yang lainnya, dia juga mengatakan apa yang kini terjadi di Libya dan Mesir, hingga Irak dan Suriah. Semua negara centang perang dalam konflik akibat media sosial yang dipicu sebuah viral di media sosial yang bermula dari Tunisia. Berbagai rezim jatuh dan hampir jatuh. Hanya Turki yang bisa bertahan dan itu pun dilakukan dengan salah satu caranya sempat melakukan ‘moratorium sementara’ untuk menata dunia medsosnya. Bahkan China lebih dahulu mengkontrol media sosialnya sebelum negara itu terpecah pada konflik.

Tapi beda dengan negara itu, Indonesia bebas merdeka. Belakangan memang ada pengaturan media sosial, tapi berbau ‘game perebutan kekuasaan’ karena dilakukan menjelang Pilkada dan Pilpres 2019. Yang terahir kini berkembang pertanyaan apakah Indonesia bisa seperti negara itu? Apakah agama Islam yang dianut negara itu menjadi biang penyebabnya.photo

Dan untuk penyebabnya, ada jawaban dari seorang teman yang mantan Ketua Komisi Hukum DPR periode yang lalu. Dia mengatakan begini: Pertama, pertanyaan (mengenai agama sebagai) perpecahan di Timur Tengah dan di Afrika Utara (seperti Libya dan Mesir) itu mengandung atau bersifat ‘prejudice’ (curiga) terhadap umat Islam.

Kedua, pertanyaan tersebu sama sekali tidak berdiri di atas causa dan sejarah dari konflik yangg ada disana pada satu sisi, sedangkan disisi lain dia seakan mengatakan ajaran Islam dan umat Islam itu tidak mampu memberi kedamaian, melainkan melahirkan konflik yangg berkepanjangan.

“Ada pihak yang mengenyampingkan fakta, bahwa Afghanistan (juga Timur Tengah, Afrika Utara, Pakistan dan India) misalnya, semua kita tahu, sejak awal abad ke-XX telah menjadi wilayah yang diperebutkan dan karena itu menjadi medan konflik antar Timur dan Barat guna menguasai kekayaan alamnya. Sedangkan Libia dan Irak, adalah korban dari keserakahan barat yg ingin menguasai kekayaan alamnya – lalu untuk membuka jalan masuk (intervensi) di desain rekayasa informasi – dan dengan modal rekayasa informasi tersebut lahir stigma yg menyalahkan pemimpin di kedua negara tersebut,’’ ujarnya.

Dengan itu, lanjut dia, maka diperolehlah alasan: pertama, untuk mengintervensi negara tersebut secara meliter dan menghabisi penguasa dan pemerintahannya. Semua bantahan dan fakta hampir tak berguna, penggulingan jalan terus.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image