Empu Astrajingga dan Dangau Mungil di Perbukitan Brujul, Saksi Bisu Jihad Diponegoro
Perang Jawa atau lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro bagi generasi milenial mungkin dianggap sekedar dongeng sebelum tidur. Dan memang, kesan ini ada di dalam benak sebelum sempat mendaki ke bukit Brujul di Peniron, Kebumen bagian utara, kisah perjuangan Diponegoro memang layaknya isapan jempol belaka.
Maka, kalau hanya sekedar membaca buku ‘Kuasa Ramalan’ karya Peter Carey tentang kecamuk Perang Jawa 1825-1830. perang tersebut memang terkesan hanya main petak umpet atau sepertitangan film atau sinetron. Semua seolah serba manis seperti kisah fiksi yang dinikmati sembari kunyah kentang goreng di ruang bioskop ber-AC yang sejuk. Padahal perangnya itu serius dan yang gugur pun serius!
Kesan sepele itu, ketika sampai di salah satu ruas perbukitan Serayu Selatan itu (akrab dipanggil juga Pegunungan Urut Sewu) hilang. Perasaan melankoli seketika juga sirna.
Apalagi setelah mulai menapaki kaki bukit berbatu perbuktikan Brujul atau perbukitan di sekitar Museum Geologi LIPI di Karang Sambung, Kebumen. Di situ terpapar betapa dahsyat pengorbanan, pengalaman raga dan jiwa Pangeran Diponegoro dari Keratorn Mataram Yogyakarta yang juga punya nama kecil RM Mutahar itu.