Kiai Sadrach Mendobrak Kebuntuan Misonaris Eropa (Bagian 2, Terakhir)

Agama  

Geliat penyebaran agama Kristen dan pertumbuhan gereja di Jawa makin semarak karena mereka didukung oleh kelonggaran atau bahkan fasilitas politik.

Apalagi, bersamaan dengan itu, yakni masa berakhirnya ‘Perang Jawa,’ itu kemudian muncul kebijakan dari pemerintah Belanda agar para bangsawan kerajaan dipisahkan kesehariannya dari kehidupan kaum pesantren. Putra Raja atau kaum bangsawan tidak lagi belajar di Pesantren tapi disekolah-sekolah yang didirikan kaum misionaris. Pesantren secara perlahan dipisahkan dari keraton.

Tujuannya untuk memutus sekaigus mencegah nilai aksi perlawanan kaum bangsawan kepada penguasa kolonial. Ini karena pesantren bagi pemerintah Belanda disebut sebagai basis perlawanan terhadapnya. Sejak itulah mulai muncul tuduhan bila kaum Muslim itu radikal dan ekstrimis yang harus dicurigai serta diawasi.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bila dulu para bangsawan kawin-mawin dengan putra-putri kiai di pesantren, maka seiring berakhirnya perang Jawa yang kemudian memunculkan sosok penginjil semacam Kyai Sadrach, pada sisi lain maka pada saat itulah para bangsawan Kraton Mataram 'diam-diam' tak dicegah, bahkan menjadi hal terlarang berhubungan dengan kaum santri di pesantren.

Sebaliknya, [ihak kolonial Belanda secara halus mendorong agar para bangsawan melakukan perkawinan antar sesama bangsawan saja. Situasi ini berbeda dengan era sebelum pecahnya ‘Perang Jawa’ di mana antara kaum bangsawan atau putra raja selalu terkait hubungan perkawinan dengan keluarga pengasuh pesantren.

Contohnya ini terjadi pada sosok Pangeran Diponegoro sendiri yang juga cucu seorang ulama dan sultan Maram sebelumnya, seperti Hamengku Buwoni I yang malah disebut punya darah Arab (syarif). Atau juga Ronggowarsito (nama kecilnya R Bagus Burhan) yang pernah merupakan bangsawan atau kaum ningrat yang belajar pada sebuah pesanren tua di Ponorogo.

Sementara itu, di kalangan orang biasa, setelah mendapat pendidikan yang diberikan para penyebar injil itu, maka anak keturunan para penganut Kristiani ini kemudian mendapat fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang lebih bagus. Mereka mengeyam pendidikan umum yang didirkan para penyebar agama itu, dengan sekolah yang dikenal sebagai ‘Sekolah Masehi’ atau sekolah lain sejenisnya.

Dan ketika lulus mereka kemudian menjadi ‘priyayi baru’ karena menjadi pegawai pemerintah misalnya menjadi guru dan tenaga kesehatan. Sebuah survei pada tahun 1920-anmenyatakan: Bila ada tiga orang Kristen berkumpul, maka dua orang di antara mereka mendapat fasilitas pemerintah. Ini berbeda dengan kehidupan kaum santri (Muslim) yang malah sama sekali tidak mendapat fasilitas dari pemerintah karena menerapkan sikap politik ‘uzlah’ atau nonkoperatif dengan pemerintah kolonial.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image