Perlawanan Rakyat Jawa Pasca Perang Diponegoro yang Bagai Hujan Gerimis
Perang Diponegoro memang berakhir pada awal tahun 1930, tepatnya usai ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada acara silaturahmi di hari kedua lebaran Idul Fitri.
Saat itu Diponegoro dikhianati para petinggi Kompeni (VOC) yang menjebaknya. Peristiwa jebakan silaturahmi itu pun sebenarnya membuat malu para pemimpin legion Belanda sebagai tindakan memalukan yang sangat tidak kesatria.
Dan memang, Diponegoro berhasil ditangkap. Setelah itu Mataram secara resmi menjadi jajahan pemerintah Belanda sepenuhnya. Sebagai kebijakan pertamanya karena perang sudah membangkrutkan kas negara Belanda munculah pemberlakuan tanam paksa yang dikomandoi Gubernul Jendral Joahens Van den Bosch.
Para petani Jawa dipaksa menyisihkan 20 persen dari lahannya untuk ditanami komoditas yang tengah laku di Eropa seperti teh, kopi, tebu, dan kakao.
Adanya kebijakan tanam paksa ini, membuat para petani Jawa semakin hidup sengsara. Derita perang belum sembuh, tapi kemudian datang deraan derita baru yang jauh lebih menyakitkan melalui tanam paksa itu.
Akibat penderitaan ini maka terus memunculkan perlawanan. Kerusuhan kerap merebak di mana-mana. Serjarawan Sarono Kartodirdjo menulis dalam disertasinya bahwa usai perang Diponegoro perlawaban rakyat terus bermunculan.
Gencarnya perrlawanan rakyat ini oleh Sartono ibaratkan seperti hujan gerimis. Perlawanan yang terus menerus meski tidak semasif yang terjadi dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro itu.
Sayangnyam sejarah Indonesia tidak mencatat perlawanan rakyat yang kecil tapi masif dan terus menerus itu.