Kontroversi Jilbab: Dari Orde Baru, Revolusi Iran, Teater Emha, Hingga Senator Bali Arya Wedakarna

Agama  

Soal pemakaian jilbab di Indonesia memang mau tidak mau hadir ketika muncul Revolusi Iran yang dipimpin Imam Khoemaeni pada 1979. Kala itu, Muslim Indonesia tersentak karena ternyata ada kekuatan Islam politik yang mampu berada di puncak kekuasaan sebuah negara. Janggut, serban, celana cingkrang, jilbab, hingga pengajian anak-anak muda muncul dengan marak.

Maka, demam Revolusi Iran sangat terasa melanda publik. Para mahasiswi di kampus-kampus, diawali satu-dua orang, mulai memakai jilbab meski penguasa kala itu mempersekusi dan melarang mereka berkuliah. Siswi sekolah di SMA pun begitu. Mereka mulai banyak yang 'nekat' memakai jilbab meski ada aturan yang keras melarangnya.

Di kancah budaya, soal pemakaian jilbab bergulir cepat serta membahana. Dan memang, pada masa Orde Baru, 1982, Daoed Joesoef yang merupakan Mendikbud saat itu melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri melalui Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional pada 17 Maret 1982. Ini dialami pemakai jilbab yang merupakan imbas kecurigaan Pemerintah Orde Baru atas peran Islam politik sejak beberapa tahun sebelumnya yang dianggap merongrong Pancasila.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Melihat kondisi itu, Emha Ainun Nadjib gelisah karena pelarangan tersebut adalah pelanggaran atas hak setiap manusia untuk memilih dan harus diprotes. Kegelisahan itu beliau tuangkan dalam puisi berjudul “Lautan Jilbab”.

Puisi yang ditulis Emha secara spontan kemudian dibacakan dalam forum “Ramadhan on Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Puisi “Lautan Jilbab” mendapat respons yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image