Tajussalatin: Dari Kekuasaan Sebagai Mahkota Etika Hingga Serupa Serigala Ala Machiavelli

Budaya  
Rampogan Macan di Alun-alun kotaraja (Koleksi Tropen Museum)
Rampogan Macan di Alun-alun kotaraja (Koleksi Tropen Museum)

Kekuasaan itu melenakan. Ia bisa mengubah apa saja. Menjadi manusia yang menjadi layaknya kera karena mendapatkan kekuasaan, menjadi malaikat kalau mendapat hidayah sang Maha Kuasa, bahkan bisa saja menjadi serigala buas layaknya penguasa rimba.

Semenjak dahulu sudah ada ujaran yang banal soal kekuasaan. Dalam politik yang menjadi sarana untuk meraihnya ada yang diam-diam dipercayai kebenarananya sebagai kelaziman. ‘’Tak ada benar dan salah dalam politik. Yang ada hanyalah kalah dan menang!’’ Mungkin sebagian orang hari ini masih percaya akan ‘jargon’ tersebut.

Apalagi bila mengingat kuatnya gaung kampanye pemilu yang sekarangi tengah melindas rakyat di akar rumput. Yang di kepala para politisi dan calon politisi hanyalah kata ‘menang’.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bila diibaratkan kucing, apa pun warnanya bulunya, tak peduli ‘putih’ atau hitam, asal bisa menangkap tikus maka tak perlu dipersoalkan. Sebab, yang menang itulah yang akhirnya menulis sejarah serta menentukan benar dan salah.

Dulu ada nasihat yang begitu ‘hebat’ datang dari seorang pegawai negeri asal Italia yang pada tahun 1523 menulis buku ‘Il Principe’ (Sang Penguasa), Firenze Niccolo Machiavelli.

Dalam buku itu dia menuliskan berbagai metode untuk meraih kekuasaan sekaligus mengukuhkannya. Dia menyatakan hendaknya seorang penguasa itu punya dua wajah, yakni licik seperti rubah agar tahu akan perangkap atau seperti singa agar ditakuti rakyatnya.

Bukan hanya itu, Machiavelli pun menyarankan bahwa seorang pemimpin atau penguasa itu tidak perlu mempunyai sifat yang baik. Bila pun punya, maka kesan tersebut hanyalah sebagai sebuah hal yang pura-pura belaka. Akibatnya, bukan salah seorang pemimpin bila menipu rakyatnya karena sejatinya semenjak semula rakyatnya sendiri sudah menyediakan diri untuk ditipu.

Dan tentu saja buku ini semenjak dilahirkan menjadi sebuah hal kontroversial. Bagi pihak yang sepaham pada pemikiran itu mereka menyatakan buku ini sebagai karya terbaik tentang politik sebab berkata apa adanya tentang kekuasaan.

Sedangkan bagi yang kontra, mereka menuduh buku ini adalah kitab politik menghalalkan segala cara untuk berkuasa karena menganggap pemimpin atau penguasa tak ubahnya serigala atau pemangsa bagi sesama.

Mereka kemudian menyinggung jargon dari dramawan Romawi pada tahun 195 SM, Plautus: Homo Homini Lupus!

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image