Kebangkitan Rasialisme dan Populisme: Dari Trump, Le Pen, Wilder, Silvani, Hingga Seehofer

Politik  

Sebenarnya tanda-tanda kebangkitan kembali rasialisme, khususnya di Amerika, sudah bisa dilacak sejak terbitnya buku Samuel Huntington, WHO ARE WE ?: The Challenges to America"s National Identity (2004). Buku Huntington itu seakan menjadi pembenar bagi tindakan dan ucapan-ucapan Trump sejak berkuasa sebagai Presiden Amerika.

Praktik rasialisme kini malah semakin subur ketika dia menyatu ke dalam fenomena populisme kanan yang tengah menguat di Amerika era Trump, dan terutama di beberapa negara Eropa saat ini.

Ada Le Pen (Prancis), Geert Wilder (Belanda), Matteo Salvini (Italia), atau yang terbaru, Host Seehofer (Jerman).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sebagian besar pemimpin penganut populisme kanan Eropa inilah yang berkumpul di Koblenz, Jerman pada Januari 2017. Di sana mereka mengukuhkan populisme yang rasialis itu. Maka Pertemuan Koblenz dinilai sebagai upaya mewujudkan "Fasisme Baru" !

Makna populisme yang dipahami sejak lama, kini sudah berubah dengan pengertian yang lain. Dia tidak lagi didambakan, malah berbalik menjadi monster yang menakutkan.

Lebih-lebih ketika populisme berlabel "kanan" itu kemudian menghadirkan fenomena lainnya: "politik identitas", yang muncul juga di Indonesia sejak beberapa waktu lalu.

Memang faktor banjir imigran besar-besaran ke Eropa dan Amerika menjadi salah satu pemicu. Tapi bukankah ini fenomena sejarah yang berulang?

Dulu semboyan "three G" atau "3 G" ( God, Gold, and Glory) memicu bangsa2 kulit putih Eropa menjarah benua Amerika, Afrika, dan Asia, melahirkan imperialisme dan kolonialisme.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image