Takbiran Kenangan di Malam Lebaran

Sastra  

Anang menggamit tanganku mengajakku keluar. Di parkiran, aku sempat mengintip apa yang ada di amplop. Hah, aku melonjak kaget. Uang dua ratus ribu. Dari Pak Kusnanto saja sudah membuatku bingung. Ini tambahan dua ratus ribu lagi. Waduh, banyak yang bisa kulakukan dengan uang tiga ratus ribu: beli sandal jepit, baju koko Abah, bunga yang banyak untuk ditanam di makam Emak, lalu apa lagi? Oya, sandal jepit untuk Anang. Aku melirik ke kaki Anang mengamati sandal jepitnya yang bernasib sama dengan kepunyaanku.

Abah! Tiba-tiba aku teringat janjiku kepada Abah untuk pulang cepat. “Nang, lewat toko obat Akong ya. Beli obat buah Abah. Cepat, kasihan Abah menunggu lama.”

Aku menghela nafas lega, ketika kulihat Akong masih duduk terkantuk-kantuk di depan mejanya. “Kong, obat yang biasa, buat Abah.”

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Wah, untung kamu cepat datang. Lima menit lagi sudah mau tutup. Empat hari lagi baru buka. Akong juga mau ikut libur lebaran” ucapnya sembari memberikan bungkusan obat itu. Aku segera memberikan uang duapuluh ribu. Akong mengembalikan seribu.

Lima puluh meter menjelang sampai rumah, aku sudah mendengar batuk Abah yang terus menerus. Anang mempercepat sepedanya.

“Dari mana kamu?” Abah bertanya sembari menahan batuk. “Kenapa lama?” Batuk Abah semakin bertambah-tambah.

“Bah, airnya,” aku memberikan segelas air putih hangat ke Abah.Sambil menggeleng, Abah mengulang pertanyaannya, “Kamu dari mana?”

Anang membantu menjelaskan, sementara aku pura-pura sibuk menyiapkan obat. Aku tahu, Abah akan marah besar jika tahu aku dari mana.

“Kurangajar. Jadi kau ambil uang dari mereka, Asep ?!!!” Aku terlonjak kaget dan hampir menumpahkan bungkusan obat yang ada di pangkuanku. “Apa kata Abah tentang mereka? Berapa kali Abah bercerita tentang mereka?”

“Lebih dari lima kali, Bah,“ jawabku terbata-bata ketakutan.

“Hayo, jawab. Apa kata Abah tentang mereka? Jawab sekarang!!!” suara Abah semakin meninggi, sebentar-bentar batuknya datang.

“Pak Rusdi penipu rakyat. Kerjanya memeras. Dia suka mengatasnamakan rakyat. Dia gemar menyogok. Pak Kusnanto pelaku penebangan liar di Hutan Meratus, yang mengakibatkan banjir di beberapa tempat. Mereka ” Aku tidak sempat melanjutkan ceritaku. Aku terloncat panik, melihat Abah muntah-muntah. Dan banyak darah di muntahannya itu.

“Abah, Abah, minum obatnya. Minum, Bah,” dengan panik aku menjejalkan obat ke mulut Abah. Anang tampak bingung dan ikut mengguncang-guncang badan Abah.

“Tidak, aku tidak mau makan obat dari uang ha .ram ,” Abah diam, lemas, kemudian tidak bergerak-gerak lagi.

“Abah !!! Abah .!!! Kenapa diam !!!” aku semakin panik dan takut dan mengguncang-guncang tubuh Abah. Tapi Abah diam, kaku, tak bergerak.

Beberapa tetangga yang sudah dipanggil Anang, datang merubungi tubuh Abah. Satu dua orang kulihat menggeleng-geleng.

Aku duduk di pojok tempat tidur, meringkuk terisak-isak. Aku belum sempat mengatakan kepada Abah, kalau uang pemberian itu belum kuapa-apakan, dan obat Abah kubelikan dari hasilku menyemir sepatu selama seminggu.

“Abah .” Sedetik kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image