Chairil Anwar danSitor Situmorang: Kawankah? Lawankah (bagian 2, tamat)

Sastra  

Namun tidak semua kesan seniman lain tentang Sitor negatif. Para juri Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955/56, yang terdiri dari Nugroho Notosusanto, Harijadi S. Hartowardojo, A.T. Effendi, Rusman Sutia-sumarga dan Kirdjomuljo, selain bersepakat memberi karya prosa Sitor, yakni buku kumpulan cerpennya, “Pertempuran dan Salju di Paris” (Pustaka Rakyat, 1956) hadiah pertama sastera nasional untuk prosa juga mengungkap hal-hal baik tentang Sitor.

Sebagaimana dimuat dalam majalah sastera “Siasat”, 28 Agustus 1957, mereka sepakat saat menyatakan,” cerita-ceritanya, seperti juga sajak-sajaknya kuyup oleh 'mood-stories'. Sitor dapat menyeimbangkan antara segi segi baik dan segi-segi gelap manusia. Ia tak pernah kejam menghukum. Ia penuh pengertian, ia penuh maaf: ia imbangkan kelemahan-kelemahan dengan kekuatan-kekuatan watak manusia. Ia telah menunjukkan kegiatan yang bermutu dalam lapangan penciptaan sastera. Ia dengan gaya yang tersendiri telah membawa gaya baru dalam cerpen Indonesia."

Pengamat sastera seperti A. Teeuw, bahkan menilai kumpulan cerpen itu benar-benar mewakili sesuatu yang dinilainya sebagai yang paling memikat dari ketokohan Sitor pada 1950-an. Bagi A Teeuw yang kemudian manjadi sahabatnya, Sitor “ bukan hanya penulis yang kompeten dan lincah dalam banyak lapangan, yang menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa, tetapi terutama ia menarik karena kepribadiannya."

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bahkan pemenang Nobel Susastra 2001, VS Naipaul, menyebut hal-hal baik tentang Sitor. “Ketika bertemu dengan Sitor—saya belum memahami seluruh manusianya-- Ia seorang penyair yang hadir sebagai penulis yang manusiawi dan suka merenung,”tulis Naipaul.

Hingga saat ini, mungkin saya—dan kita semua—sementara harus puas dengan penjelasan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Bukan tentang latar belakang lahirnya dua sajak tersebut. Namun tentang hubungan di antara penyair.

Dalam sebuah esainya, “Kata-kata”, yang dimuat dalam “Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001” (Penerbit Buku Kompas 2001), Sutardji menulis bahwa ada seorang penyair yang risau mendengar sajak Taufiq Ismail yang berhamburan kata-kata dan panjang-panjang pula judulnya dalam "Nol Kilometer", tayangan RCTI. Si penyair ini mengeluh: "Jangan- jangan masyarakat luas bakal menganggap begitulah puisi Indonesia".

“Saya hanya bilang,”tulis Sutardji dalam esainya itu,”ada dua macam penyair. Penyair untuk banyak orang dan penyair untuk para penyair. Masing-masing punya risiko, yang pertama cenderung menghadapi risiko minimnya kadar puitika, golongan yang kedua akan sering mendapatkan minimnya publik yang mengacuhkan. Jarang ada penyair yang disenangi banyak penyair dan sekaligus disenangi banyak orang (umum).”

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image