Budaya

Ada Apa denngan Pejebat Publik yang Kebelet Jadi Profesor?

Gambaran ideal seorang presien.
Gambaran ideal seorang presien.

Oleh; Prof Dr Deddy Mulyana, Guru Besar Unpad dan pakar komunikasi.

*Pelanggaran etis mengenai pengangkatan _pejabat publik dan pesohor_ menjadi profesor yang menghebohkan di Tanah Air belakangan ini hanya puncak dari gunung es permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia. Jika saja Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no. 92 tahun 2014 pasal 10 ayat 1 secara tegas bahwa seorang calon profesor harus mengajar minimal 10 tahun, memiliki gelar akademis doktor, minimal 3 tahun setelah perolehan ijazah doktor, dan minimal 2 tahun menduduki jabatan lektor kepala, sangat sulit bagi pejabat publik dan pesohor untuk menjadi profesor.*

*Memangnya menjadi profesor itu kerja sambilan? Apalagi calon guru besar dituntut menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama dan berpengalaman sebagai pembimbing utama (promotor) mahasiswa S3.*

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

*Mengajar minimal 10 tahun itu seyogianya diterjemahkan sebagai durasi tanpa jeda atau tanpa dicicil. Calon profesor harus mengajar penuh waktu, bukan paruh waktu, apalagi sebagai dosen tamu yang mengajar 1-2 kali per semester, meski namanya tertera di program studi..Sulit dibayangkan, seorang profesor tidak memiliki home base tempat ia bekerja. Tanpa itu, ia tidak berhak memperoleh jabatan akademik profesor, seperti disebutkan Pasal 23 Undang-Undang no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan.*

Kebeletnya pejabat publik dan pesohor menjadi profesor menunjukkan rasa tidak percaya diri mereka.

Meminjam istilah (almarhum) Dr. Sudjoko yang dulu menjadi dosen ITB, mereka menderita krocojiwa.

Seolah ada relung hampa dalam mentalitas mereka yang harus mereka isi.

Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga cerdas seperti profesor yang berkarier sebagai akademisi. Mereka berilusi bahwa mereka bisa bergaul dengan lingkungan intelektual elite dan ekslusif yang dapat melambungkan citra dan wibawa mereka. Sebutan profesor memang istimewa di Indonesia karena digunakan penyandangnya dan diperlakukan orang lain sebagai profesor tidak hanya di dunia akademik seperti di Barat, tetapi pada semua pertemuan dan setiap waktu, termasuk saat resepsi pernikahan dan rapat RT.