Budaya

Ada Apa denngan Pejebat Publik yang Kebelet Jadi Profesor?


Maka sulit dipahami bagaimana seorang pejabat publik atau pesohor ujug-ujug mampu menulis artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi tanpa melewati proses pembiasaan dan jatuh bangun dalam karier menulis. Menulis dalam bahasa Indonesia saja susah, apalagi dalam bahasa Inggris. Kecenderungan feodal dan kecenderungan lebih mementingkan hasil daripada proses itu pernah disinggung Mochtar Lubis sebagai ciri-ciri manusia Indonesia dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1977 dan kemudian dibukukan dengan judul Manusia Indonesia (1978), dan kini masih relevan.

Pada akhirnya, permasalahan yang kita bahas ini hanya bisa dituntaskan jika pemerintah memiliki tekad politik. Kemenpenbudristek harus membuat regulasi yang transparan, sejalan dengan regulasi kementerian terkait lainnya dan regulasi perguruan tinggi di bawahnya. Sementara itu, perguruan tinggi pun harus berani melawan tekanan politik untuk melanggar aturan yang ada. Penganugerahan jabatan akademik profesor kepada orang yang tidak berhak menyandangnya hanya meruntuhkan martabat perguruan tinggi bersangkutan.Jika kita tetap abai membuat seperangkat regulasi yang solid berlandaskan meritokrasi, jangan-jangan para profesor kita hanya akan menjadi olok-olok bangsa lain.

--------

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Deddy Mulyana (lahir 28 Januari 1958) Profesor Deddy Mulyana adalah Guru Besar dan Dekan ke-9 (2008-2012, 2012-2016) Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Di fakultasnya, ia pernah menjadi Ketua Jurusan Jurnalistik (1996-1999) dan Koordinator Program Magister (2004-2008).