Ada Apa denngan Pejebat Publik yang Kebelet Jadi Profesor?
Fakta bahwa banyak pejabat publik dan pesohor (ingin) menjadi profesor juga menunjukkan bahwa mereka masih menganut feodalisme. Dengan kata lain, mereka cenderung menghargai orang lain berdasarkan status bersifat bawaan alih-alih status karena prestasinya.
Gelar bangsawan seperti Raden di kalangan suku Jawa dan Sunda, Lalu (untuk laki-laki) dan Baiq (untuk perempuan) di kalangan suku Sasak, Andi (untuk Sulawesi Selatan) atau Laode (untuk laki-laki) dan Waode (untuk Perempuan) pada suku Buton memang sudah kedaluwarsa.
Mereka tidak tertarik pada gelar-gelar bangsawan yang mereka anggap kurang seksi, kalaupun mereka berhak. Namun, mereka ingin mendapatkan “gelar pengganti” seperti doktor kehormatan (Dr. HC), profesor, dan profesor kehormatan yang mereka pikir dapat mendongkrak harga diri mereka.
Tak heran segala acara yang tidak etis dan manipulatif dilakukan untuk memperolehnya. Dengan sebutan profesor yang mereka pikir mentereng, mereka petenteng-petenteng di depan khalayak, tetapi sebagian khalayak boleh jadi menertawakan mereka di belakang punggung mereka.
Seperti diungkapkan wartawan senior Bre Redana, menulis itu suatu tradisi.