Sejarah

Ketika Belanda Ketakutan Mengakui Kemerdekaan Indonesia

Tentara Belanda melakukan defile di jalanan sebuah kota kecil di Indonesia. (gahtena,nl)
Tentara Belanda melakukan defile di jalanan sebuah kota kecil di Indonesia. (gahtena,nl)

Oleh: Batara Hutagalung, Pendiri Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

Tanggal 15 Juni 2023, berbagai media di Indonesia menurunkan berita, bahwa pemerintah Belanda “resmi” mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pemberitaan ini tidak cermat dan tidak tepat, seperti pemberitaan-pemberitaan yang lalu di media-media di Indonesia sehubungan dengan masalah hubungan Indonesia dengan Belanda.

Yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda ini baru merupakan pernyataan yang disampaikan dalam perdebatan di Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2023. Pengakuan ini belum resmi disampaikan kepada pemerintah Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Juga media-media di Indonesia tidak mencermati, atau mungkin tidak mengerti penjelasan dalam bahasa Belanda dari juru bicara Perdana Menteri Belanda yang disampaikan setelah perdebatan di Parlemen Belanda. Penjelasan yang sangat penting ini juga ditulis dalam beberapa media di Belanda. Namun di media-media di Indonesia, tidak ada samasekali ulasan mengenai hal-hal yang disampaikan oleh juru bicara Perdana Menteri Mark Rutte tersebut.

Setelah lebih dari 77 tahun Indonesia merdeka, pernyataan dari seorang Perdana Menteri Belanda ini, tidak muncul dengan tiba-tiba tanpa alasan dan tanpa latar belakang, melainkan setelah pemerintah Belanda dituntut sejak 21 tahun lalu, tepatnya sejak tanggal 20 Maret 2002. Pada tanggal tersebut di Belanda diselenggarakan puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Conpagnie), suatu kongsi dagang Belanda, yang mengawali kolonialisme (penjajahan) dan perbudakan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia.

Pada 20 Maret 2002, satu organisasi, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) melakukan demonstrasi di Kedutaan Belanda di Jakarta dan menyampaikn tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk:

Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kolonialisme, perbudakan dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Bertanggungjawab atas semua akibat dari kolonialisme, perbudakan dan agresi militer Belanda di Republik Indonesia tersebut.

Demonstrasi ini diliput oleh stasiun televisi Belanda yang ternama, NOS, dan pada pagi itu juga ditayangkan di Belanda. Ini adalah pertama kali sebagian besar rakyat Belanda mengetahui mengenai adanya penjajahan dan perbudakan yang dilakukan oleh bangsa Belanda di masa lalu. Di buku-buku sejarah di sekolah-sekolah di Belanda tidak ditulis mengenai kolonialisme, perbudakan dan agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Seperti di Indonesia, generasi muda Belanda juga “buta sejarah yang sebenarnya.”

KNPMBI didirikan oleh putra-putra pejuang kemerdekaan dan didukung oleh cukup banyak pelaku sejarah Angkatan ’45, baik dari kalangan militer maupun sipil, termasuk dari kalangan intelijen. Dukungan juga diberikan oleh pejabat-pejabat negara dan beberapa Duta Besar/diplomat, baik yang masih aktiv maupun yang sudah purna tugas..


Permintaan Maaf danPengakuan Yang Merangkak serta Setengah Hati.

Seperti telah ditulis di atas, tanggal 20 Maret 2002, pada puncak perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Komite nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), melakukan demonstrasi ke Kedutaan Belanda dan menuntut pemerintah Belanda untuk:

1. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas kolonialisme, perbudakan dan kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

2. Bertangungjawab atas akibat-akibat dari kolonialisme, perbudakan dan agresi militer.

Pada waktu itu, pemerintah Belanda hanya merespon dengan mengusulkan acara seminar bersama untuk membahas mengenai VOC. Seminar mengenai VOC dilaksanakan pada 3 dan 4 September 2002 di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Dalam seminar tersebut, dihadirkan 4 sejarawan dari Belanda dan 6 sejarawan Indonesia. Peserta seminar sekitar 250 orang. 95% anggaran ditanggung oleh Kedutaan Bear Belanda. pada waktu itu, tahun 2002, samasekali tidak ada kata-kata mengenai permintaan maaf atau penyesalan.

Tanggal 16 Agustus 2005, menlu Belanda Ben Bot menyampaikan rasa penyesalan yang mendalam atas jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak di masa “pemisahan” Indonesia dari Belanda antara tahun 1945 – 1949.

Tanggal 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam pada acara peringatan di desa Rawagede, juga menyampaikan penyesalan atas terjadinya peristiwa pembantaian di desa Rawagede tersebut. Demikian juga Duta Besar Belanda, Tjeerd de Swan pada 9 Desember 2011 di Rawagede menyampaikan pernyataan yang sama.

Tanggal 13 Maret 2020, 18 tahun setelah tuntutan tanggal 20 Maret 2002, Raja Belanda Willem Alexander di Jakarta pertama kali menyampaikan permintaan maaf atas “tidak kekerasan yang berlebihan” yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia di masa “pemisahan” Indonesia dari Belanda. Namun tidak ada berita bahwa Presiden Joko Widodo merespon permintaan maaf raja Belanda tersebut. Apakah menerima atau menolak permintaan maaf tersebut.

Tanggal 17 Februari 2022, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte juga menyampaikan permintaan maaf atas tidak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Indonesia. Juga tidak ada berita, apakah pemerintah Indonesia menerima permintaan maaf tersebut, dan tidak ada berita mengenai tanggapan pemerintah Indonesia secara keseluruhan terhadap masalah-masalah kolonialisme, perbudakan dan kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Memerlukan waktu 60 tahun, sampai tanggal 16 Agustus 2005 untuk pemerintah Belanda mengakui, telah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Diawali dengan rasa penyesalan yang setengah hati, karena menyesal bukan hanya untuk korban di pihak Indonesia, melainkan juga atas korban di pihak Belanda.

Setelah itu, sejak 17 Agustus 2005, masih butuh waktu 15 tahun, sampai raja Belanda tahun 2020 meminta maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan. Raja Belanda juga tidak mau mengakui, bahwa telah terjadi pembantaian massal terhadap penduduk sipil, non kombatan, yang merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Raja Belanda juga samasekali tidak menyinggung mengenai kolonialisme dan perbudakan. Permintaan maaf seperti ini diulang oleh Perdana Menteri Belanda dua tahun kemudian. Jadi ini merupakan permintaan maaf yang merangkak, dan setengah hati.

Demikian juga dengan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Memerlukan waktu 60 tahun, sampai tanggal 16 Agustus 2005 untuk pemerintah Belanda menerima kenyataan, bahwa ada negara yang bernama Republik Indonesia. Setelah itu, sejak 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda juga memerlukan waktu 18 tahun sampai tahun 2023, untuk mengakui “penuh” kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Namun formulasinya masih harus “dikonsultasikan” dengan mitra dari Indonesia untuk mencapai “kesepakatan interpretasi.” Juga ditegaskan, pengakuan ini tidak berlaku secara hukum dan tidak ada hubungannya dengan perang 4 tahun. Sungguh suatu “pengakuan penuh” yang penuh dengan syarat-syarat yang aneh dan tidak masuk akal.

Masih banyak utang kehormatan Belanda kepada bangsa Indonesia. Pemerintah Belanda masih tidak mau mengakui adanya penjajahan (kolonialisme) dan perbudakan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia. Apalagi meminta maaf atas kolonialisme dan perbudakan.

Pada 22 Desember 2022, Mark Rutte resmi meminta maaf kepada 7 negara di Karibia dan Suriname atas perbudakan di masa kolonialisme Belanda di negara- negara tersebut, namun tidak ada satu katapun mengenai kolonialisme dan perbudakan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia. Kolonialisme Belanda di beberapa kota dan daerah, berlangsung selama lebih dari 300 tahun, Sedangkan di beberapa kerajaan dan kesultanan, kolonialisme Belanda hanya berlangsung selama 30-an tahun. Perbudakan di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara berlangsung selama lebih dari 250 tahun.


Hambatan-Hambatan yang dihadapi oleh KUKB

Di Belanda, KUKB mendapat sangat banyak dukungan, bukan hanya dari tokoh-tokoh masyarakat dan para sejarawan Belanda, melainkan juga dari anggota- anggota parlemen Belanda. Keberhasilan menuntut pemerintah Belanda atas kasus Rawagede, selain atas dukungan dari satu lembaga di Indonesia, juga dukungan besar dari beberapa anggota parlemen Belanda, yang memperjuangkan tuntutan KUKB di sidang-sidang parlemen Belanda. Khusus untuk kasus Rawagede, pimpinan KUKB dari tahun 2005 – 2008 telah tiga kali ke Parlemen Belanda (Tweede Kamer) di Den Haag.

Pada 9 Oktober 2013, pimpinan KUKB untuk keempat kali ke Parlemen Belanda, di mana selain tetap menyampaikan masalah pengakuan de jure terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, juga disampaikan cukup rinci mengenai peristiwa pembantaian di desa Galung Lombok di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.

Pada 1 Februari 1947, anak buah Westerling dari pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST), di bawah komando Letnan Vermeulen, dalam hitungan jam membantai sekitar 700 penduduk yang dikumpulkan dari desa-desa di sekitar desa Galung Lombok. Pembantaian ini dapat dikategorikan sebagai genosida (pembersihan/pembantaian etnis), karena yang dibantai semua dari etnis Mandar. Genosida adalah kejahatan tertinggi di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court - ICC) di Den Haag, Belanda.

Di ICC, empat jenis kejahatan dinyatakan tidak mengenal asas kadaluarsa, Artinya, sampai kapanpun keempat kejahatan tersebut dapat dituntut di ICC. Keempat kejahatan tersebut adalah:

1. Genosida,2. Kejahatan atas kemanusiaan, 3. Kejahatanperang,4. Kejahatanagresi.

Perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dan membela kehormatan bangsa Indonesia serta memperjuangkan keadilan untuk para korban/keluarga korban agresi militer Belanda yang dilakukan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak tanggal 20 Mei 2005, justru mendapat hambatan besar dari oknum-oknum penting di pemerintahan Indonesia. Diduga hal ini dilakukan untuk kepentingan Belanda. Walaupun terus menerus dihambat, difitnah dan didiskreditkan oleh oknum-oknum penting tersebut, telah banyak keberhasilan yang dicapai oleh KUKB dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dan membela kehormatan bangsa Indonesia serta memperjuangkan keadilan untuk para korban/keluarga korban agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Jakarta, 15 Juni 2023.