Sejarah

Ketika Belanda Ketakutan Mengakui Kemerdekaan Indonesia


Juru bicara Perdana Menteri Belanda hanya menyampaikan pendapat dari Perdana Menteri. Membaca kalimat yang disampaikan, kelihatannya Perdana Menteri Belanda ini ingin membodoh-bodohi dunia internasional dan rakyat Indonesia. Sangat aneh, kalau pengakuan penuh, alias de jure, tidak berlaku secara hukum. Terminologi de jure artinya secara hukum, bahkan hukum internasional.

Juga Perdana Menteri Belanda ini “buta sejarah” atau pura-pura tidak mengetahui sejarah, atau memang ingin menipu dunia internasional dengan pemalsuan sejarah versi penjajah. Kalimat: “... pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Belanda antara tahun 1945 dan 1949 tentang masalah-masalah di Indonesia. Tidak ada yang berubah....” sangat salah dan menyesatkan.

Antara tahun 1945 – 1949 sangat banyak perjanjian dan kesepakatan yang dilanggar oleh Belanda. Bahkan perjanjian/konvensi internasional juga dilanggar oleh Belanda. Perjanjian pertama antara Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia yang dilanggar oleh Belanda adalah perjanjian Linggajati yang difasilitasi oleh Inggris dan ditandatangani tanggal 25 Maret 1947. Perjanjian ini dilanggar 4 bulan kemudian oleh Belanda dengan melancarkan agresi militer pertama tanggal 20 Juli 1947. Atas campur-tangan PBB, disepakati gencatan senjata tanggal 1 Agustus 1947. Namun Belanda memberlakukan gencatan senjata ini mulai tanggal 5 Agustus.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tanggal 8 Desember 1947 dimulai perundingan perdamaian di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville. Sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian Renville, tanggal 9 Desember 1947 dalam upaya memburu Tentara Nasional Indonesia (TNI) di daerah Karawang, Jawa Barat, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa, non kombatan di desa Rawagede, dekat Karawang. Peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil ini bukan hanya merupakan pelanggaran gencatan senjata, melainkan juga kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Para prajurit yang terlibat dalam kejahatan ini, tidak ada satupun yang dihukum. Bahkan komandannya, Mayor Alfons Wijnen, mendapat tanda jasa.

Perjanjan Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948. Pada 10 Desember 1948 Belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai Hak Asasi Manusia (UN Universal Declaration of Human Rights). Pada 19 Desember 1948, hanya 9 hari setelah Belanda ikut menandatangni Pernyataan Umum PBB mengenai HAM, Belanda melanggar Persetujuan Renville dengan melancarkan agresi militer kedua terhadap Republik Indonesia. Di masa agresi militer Belanda kedua ini, terjadi sangat benyak kejahatan-kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat. Ribuan orang di Rengat, Riau, di Temanggung, Jawa Tengah, dll., dibantai tanpa proses hukum apapun. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil, non kombatan. Tindakan ini merupakan pelanggaran konvensi internasional mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam suatu perang.

Dalam melancarkan agresi militer kedua ini, Belanda mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II usai tahun 1945. Belanda mendatangkan lebih dari 165.000 tentara dari Belanda ke Indonesia. Ada sumber yang menulis, Belanda mengirim sekitar 200.000 orang ke Indonesia. Pasukan Belanda ini diperkuat dengan 65.000 pasukan KNIL yang ada di Indonesia. Pasukan KNIL terdiri dari pribumi Indonesia dan orang-orang Indo yang pro Belanda.

Kekuatan Belanda ini masih ditambah dengan sekitar 50.000 pasukan Po (Pao) An Tui, yaitu bangsa Cina yang ada di Indonesia, yang berperang di pihak Belanda. Belanda memperoleh bantuan persenjataan moderen dari sekutunya di Perang Dunia II, yaitu Inggris, Amerika Serikat dan Australia. Di lain pihak, kekuatan TNI di Jawa dan Sumatra hanya sekitar 100.000 orang, dengan persenjataan ringan yang direbut dari tentara Jepang tahun 1945.

Tanggal 10 Agustus 1949, disepakati gencatan senjata. Pada 11 Agustus 1949 di pagi hari, tentara Belanda menyerbu satu rumah seorang dokter di Solo yang digunakan sebagai Klinik, dan tentara Belanda membantai belasan orang dengan kelewang.