Berderai Air Mata, Hamka Menitip Sang Ayah ke Bung Karno
Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, penulis, periset, dan pengajar sejarah. Tinggal di Ranah Minang.
Kisah ini bermula dari kasus pengasingan yang menimpa Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), atau yang juga akrab disapa Haji Rasul. Laki-laki kelahiran Nagari Sungai Batang Maninjau Oud Agam pada 10 Februari 1879, adalah ayah kandung dari Haji Abdul Karim Amrullah – atau yang akrab disapa Buya HAMKA (Sufyan, 2022).
Sang Penentang Ordonasi Guru dan Sekolah Liar
Residen Whitlaw dalam Memorandum van Overgave di Sumatra Westkust, merilis sebuah tulisan yang menguatkan peran HAKA dalam menggerakkan Muhammadiyah. Dalam laporannya untuk Penasehat Urusan Bumiputra di Batavia, Whitlaw menulis, bahwa Haji Rasul berada di belakang lahirnya Muhammadiyah di Padang Panjang (Sufyan, 2021).
Meskipun digadang-gadang Whitlaw selaku pionir Islam Berkemajuan di ranah Minang – Residen Sumatra Barat itu juga menulis HAKA sebagai seorang dubbelhartig. Posisinya pun serba susah. Ia tidak mendapat tempat di mata murid-murid dan guru Sumatra Thawalib yang berafiliasi ke Kuminih, namun ia lebih tidak dipercayai Whitlaw karena tidak pernah menegaskan posisinya sebagai pembenci Kuminih.
Dalam tulisan akhirnya, Whitlaw mengingatkan pada para penggantinya, untuk tidak mempercayai HAKA. Padahal, Whitlaw hanya berpedoman pada surat kaleng yang tidak jelas siapa pengirimnya. Dalam surat kaleng itu ditulis,”Lahirnya dia berpihak pada pemerintah, batinnya memihak pada Communisten. Buktinya paduka tuan mulia lihat sendiri, yaitu murid-muridnya hampir semuanya berhaluan merah.” (Mailrapport No.2488/1926).
Dua tahun kemudian, pemerintah Kolonial Belanda kembali mencatat perlawanan dari pendiri Sumatra Thawalib dan majalah Al Munir Al Manar itu. HAKA memainkan peran penting dalam penolakan Ordonansi Guru tahun 1926. Bersama ratusan ulama dan guru agama dari sekolah Islam partikelir, ordonansi itu batal diterapkan.
Halaman 2 / 6
Hatinya remuk redam meninggalkan ayahnya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan di Jakarta. Ia membatin, barangkali hari itu lah akhir dari pertemuannya dengan Sang Ayah.
“Saya tidak bisa melihat wajah ayah lagi.” Hamka membatin. Dengan tertatih-tatih karena tuanya, Haji Rasul mengantarkan putra yang telah ditunggu-tunggu sepuluh tahun kelahirannya itu, ke stasiun Tanah Abang.
Soekarnopun turut mengantar Hamka. Ketika kereta api akan berangkat, Hamka pun meciumi ayahnya. Dengan berbisik lirih ke Soekarno, Hamka pun berpesan,
“Ayah kita Bung! Bung ganti saya”.
“Jangan kuatir, berangkatlah”
Mereka pun berpelukan. Tanpa terasa airmata keduanya pun menetes, dan disaksikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah yang telah berusia 65 tahun dan sakit-sakitan. Mata itu berair, menyaksikan kepergian anaknya, seiring menjauhnya kereta api yang membawa Hamka.
Halaman 3 / 6
Dilepas HAKA, Bung Karno dan Hamka Bertangisan
Tiga tahun berlalu. Hamka masa itu berusia 36 tahun. Ia masih ingat dengan kisah ayahnya yang diundang makan oleh Bung Karno.
HAKA tidak lagi berada di pengasingan, berkat bantuan Bung Karno, ia dibebaskan serdadu Jepang, dan dipindah ke Jakarta.
HAKA diundang untuk bersantap siang di kediaman Soekarno, yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur. Ia telah berada di ruang makan bersama dengan suami dari Fatmawati itu.
Sedang makan, Soekarno berkata: “Inyik tetap sajalah di Jakarta, Soekarno ini anggap sajalah sebagai ganti Hamka, untuk mengurus Inyik”. HAKA, hanya mengangguk pelan.
Ayahnya menceritakan kisah itu. Dan Bung Karno pun menceritakan sebaliknya kepada penulis Tenggelamnya Kapal vander Wijk itu.
Hamka pada bulan April 1944 telah berada di Jakarta dan menemui sang ayah yang dirindukannya. Ia pun hendak kembali ke Medan, beberapa hari kemudian.
Halaman 4 / 6
Dari persidangan, Jaksa menuduh murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi telah melanggar pasal 153a Strafwetboek dan Regeeringsbesluit tertanggal 13 Januari 2010, No. 2x. Pasal dan tuduhan bertubi-tubi disematkan padanya.
HAKA dituduh secara sistematis, merongrong kewibawaan negara, menyebar ujaran kebencian terhadap Pemerintah Hindia Belanda, dengan tujuan akhir menggulingkan pemerintah.
Putusan akhir pengadilan menjatuhkan hukuman buang terhadap Haji Rasul. Keputusan itu kemudian dikuatkan dengan putusan Residen Sumatra Westkust,
“Rasul Gelar Dr Haji Abdul Karim Amarullah, yang dijuluki Hadji Rasul, guru agama di Sungai Batang (Sumatra Westkust) Demi kepentingan ketenangan dan keamanan masyarakat, Sukabumi telah ditetapkan sebagai tempat tinggal. Perlu dicatat bahwa pengasingan Dr Amrullah tentu saja didasarkan pada upaya politiknya” (Bataviaasch nieuwsblad, 21 Juli 1941)."
Halaman 5 / 6
Sampai akhirnya, ia pun di bui dan dihadapkan ke meja hijau. Hoofddjaksa Oud Agam menegaskan, bahwa penyelidikan yang dilakukan terhadap HAKA tidak ada hubungannya dengan aliran agama (Islam modernis) yang disebarkan olehnya.
Namun, penyelidikan itu semata-mata karena tindakan politik yang dilakukan oleh HAKA di sekitar Sungai Batang dan Tanjung Sani Maninjau. Penyelidikan yang dilakukan otoritas jaksa Oud Agam itu menyasar pada pengajian yang dilakukanya pada 10 Mei 1940 (Sumatra Bode, 17 Juli 1941).
Haji Rasul dituding melakukan penghasutan, dan menyebar perlawanan terhadap otoritas adat dan pemerintahan di SungaiBatang dan Tandjung-Sani yang berpenduduk sekitar 11.000 orang. Ia pun dituding telah merusak rust en orde.
“Haji Amarullah melakukan agitasi politiknya, hampir tidak dapat menegaskan dirinya lagi. Meskipun telah berulang kali diperingatkan, Haji Amarullah tetap melanjutkan aksinya, yang merugikan ketentraman dan ketertiban umum.” (de Sumatra post, 19 Juli 1941).
Halaman 6 / 6
Dituding Merusak Rust en Orde, HAKA dan Dibuang ke Sukabumi
HAKA terus melawan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Selain kebijakan pemerintahan dan adat, ada juga Ordonansi Guru dan Sekolah. HAKA dicap berbahaya.
Controleur di Maninjau, asisten residen di Fort de Kock, dan residen Sumatra Westkust telah memanggil dan meminta pertanggung jawabannya sebanyak dua belas kali.
Sejumlah siswanya ditangkap karena berpartisipasi dalam aktivitas politik. Keluarganya, adiknya, anaknya, dan kemenakannya dianggap bersalah dan dihadapkan pada proses hukum. Semuanya dinilai berdasarkan ceramah dan tulisannya yang dianggap melawan pemerintah dan otoritas adat.
Di hadapan Contrelur di Maninjau, HAKA menegaskan pendirinya, “Jangan tuan ancam saya!” Saya sudah bosan dengan ancaman. Tuan memiliki kekuatan!
Saya dibuang jatuh dari ketinggian. Dengan pedang tuan yang tajam, leher saya genting. Namun, saya tidak dapat berhenti mengajar agama. Saya akan berhenti hanya jika saya dapat menghentikan setiap nafas yang saya ambil dari tubuh saya!”
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook