Tanpa Aturan Jelas, Politik Dinasti Hanya akan Memunculkan Anarkhi

Oleh: Achmad Charris Zubair, Filsuf dan mantan dosen Filsfat UGM
Seseorang memiliki naluri alamiah untuk menurunkan keberhasilan yang dia capai kepada anak turunnya.
Atau, setidaknya kepada orang-orang terdekat. Keberhasilan itu bisa harta, ilmu, hingga kekuasaan. Dan naluri ini sebenarnya cukup wajar. Ini karena dimiliki hampir semua orang.
Hanya, naluri ini tidak mungkin dibiarkan tanpa aturan, baik secara hukum maupun moralitas.
Baca juga: Anarkhi Politik, Daulat Rakyat, dan Tri Puruso Dalam Budaya Kekuasaan Jawa
Dalam konteks politik dinasti, misalnya naluri ini bisa jadi sebuah tindakan anarki di kehidupan manusia. Akibatnya, hukum tidak lagi bermakna karena tidak didasari oleh hati nurani atau sadar yang lain.
Halaman 2 / 4
Alhasil, dalam hal ini, apa yang disebut dinasti politik bukan berdiri sendiri serta pasti ada elemen lain yang mendukungnya. Memakai nasihat leluhur Jawa membentuk dinasti politik atau memberikan kekuasaan yang itu milik umum kepada ahli warisnya, semua itu adalah sebuah tindakan: bener, tapi kurang pener.
Pada sisi lain, adanya dinasti politik juga menjadi penanda bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Sebab, ada proses demokrasi yang terhambat.
Baca juga: Jejak Kiai Sadrach, Penginjil Pertama di Kalangan Pribumi Jawa (bagian 1)
Ingat motif ingin mempertahankan kekuasaan, maka praktik dinasti politik rentan dengan proses-proses transaksional. Dan fenomena ini praktik tersebut bisa dihentikan jika parpol melakukan perbaikan diri. Selain itu, negara juga harus membuat aturan baru guna membuat iklim demokrasi semakin kondusif.
Mengapa? Kalau politik dinasti tidak diatur oleh hukum dan moral, masalah ini akan menjadi anarki. Maka aturan yang mengikatnya bersifat mutlak. Sebagai contoh, siapa pun yang sedang menjabat tidak diperkenankan mengajukan, misalnya anaknya. Ini harus diatur sebaik-baiknya!
Partai politik juga harus memberikan peluang untuk membuat aturan-aturan semacam itu. Ini yang harus kita tunjukan, bahwa pada saat seseorang menjabat, jangan sampai anak atau kerabatnya mencalonkan diri.
Bila aturan itu sudah tersedia, maka orang-orang akhirnya tidak akan memberikan penghakiman pada politik dinasti!
Baca juga: Islam di Kerajaan Mataram Jawa: Dari Azan Hingga Sultan yang Berkhotbah Juma
Baca juga: Bisakah Raja Jawa Mengubah Hukum Sekehendak Hatinya?
Baca juga: Kekuasaan Bukan 'Rampogan': Refleksi Keabadian dan Guyonan Jawa Jelang Pemilu 2024

Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook